Orang-orang yang memahami dan terbiasa dengan karya seni, mungkin mengernyitkan dahi melihat karya lukis seniman Nana Tedja, mereka yang biasa teratur dengan tatanan warna akan berpikir keras, bagaimana Nana mengatur color coordinate di atas kanvasnya. Sementara mereka yang gemar pada lukisan dengan goresan emosional yang cadas, sepertinya juga akan menemukan kenyataan bahwa goresan-goresan tersebut berada dalam letupan warna-warna yang manis, yang vibrant. “Aku enggak pernah nyocok-nyocokin warna, enggak pernah pilih-pilih warna, warna yang aku pengen ya aku templok saja ke kanvas.” Ujar Nana Tedja di depan lukisannya yang terpampang dengan dimensi 2 x 3 meter, di arena ArtMoments Jakarta 2023, di Sheraton Grand Gandaria City. “Aku menikmati hal ini, dulu waktu sekolah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ada pelajaran Nirmana (pelajaran tata bentuk dan warna), aku enggak mau menerapkan pelaran tersebut, di karya-karyaku enggak ada, semua aku tabrak saja.”
Abstraksi dari dalam pakem tradisi Jawa
Kontradiksi ungkapan rasa di karya-karya Nana memang seperti membawa masuk ke alam baru, penuh goresan cadas tetapi manis merekah bagai permen. Ada gigi-gigi tajam berwarna pink dengan garis tepi warna fuchsia, ada figur-figur abstrak berwajah yang sepintas seram tetapi kalau dilihat lebih lama, wajah tersebut seperti mengajak tertawa. Ada gambar hati yang siluetnya tampak seperti dibuat oleh orang yang baru bisa menggambar namun digores dengan tekanan yang meyakinkan. Darimana kontradiksi Nana ini hadir? “Jadi gini, aku kan pada dasarnya tumbuh di dalam lingkungan keluarga tradisional Jawa, bangsawan yang penuh dengan aturan. Sementara pada dasarnya aku enggak seneng diatur-atur. Diriku sendiri suka yang bebas atau apa pun itu. Tetapi karena kultur Jawa yang tradisional sudah tertanam di diriku, membuat aku seperti tertahan, aku enggak mungkin berperilaku yang bebas banget, selalu ada rem tradisi yang aku enggak bisa langar, yang sampai saat ii tetap terbawa terus. Misalnya aku mau hidup bebas tetap aku enggak berani, karena rem yang terbawa.” Ujar Nana menjelaskan.
“Do you love me? Yes, I do!”, dalam templokan warna
Rem-rem tersebut Nana lepaskan sampai blong di atas kanvas, segala emosinya ia tebarkan dengan kuas. Setiap jengkal kanvas tak lepas dari ungkapan-ungkapan abstrak. “Sebenarnya hal-hal yang aku goreskan ini adalah hal-hal yang membumi, misalnya ekspresi perjodohan, sikap hidup sehari-hari, filsafat Jawa, atau hanya sekadar hal remeh seperti ‘Do you love me? Yes, I do’. Juga leburan dari batas-batas tradisi dan sifat ku yang ingin bebas.” Letupan karya-karya Nana Tedja ini seperti meninggalkan kepintaran computer dan teknologi Artificial Intelligence jauh di belakang. Tak ada yang bisa menduga kemana gerak tangannya akan menggores, tak ada yang bisa memindai perencanaan warna yang akan ia templokkan. Akhirnya, lukisannya begitu hidup, tak terduga, tak artifisial, ungkapan asli dari dalam hati.