Bagaimana cara terelok untuk mendinamiskan kembali sehamparan taman klasik di dalam kompleks Pura Mangkunegaran Surakarta? Cara terjitu adalah menghiasi taman dengan karya-karya seni luar ruang dalam bentuk patung kontemporer yang modern, kontras dengan taman bernama Pracima Tuin, yang dibangun oleh KGPAA Mangkunagoro VII di era 1920an. Pemikiran ini lahir dari kolaborasi antara Tumurun Museum dan Pracima Tuin Mangkunegaran yang mempersembahkan ‘SURAKUSUMA – Mangkunegaran Art Garden’, sebuah pameran karya patung (sculpture garden). Pameran dibuka secara resmi oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran X pada tanggal 29 Juni lalu, dan akan berakhir di 29 Juli 2024. Dalam rentang waktu tersebut akan diselenggarakan beragam program publik; diantaranya adalah Tur Kuratorial, Diskusi Seni dan Workshop yang terbuka untuk umum mulai 30 Juni hingga 29 Juli 2024.
Pertemuan Barat dan Timur, Keraton dan Kontemporer
SURAKUSUMA berasal dari bahasa Jawa Kawi yang memiliki arti Bunga Dewa-Dewi atau Bunga Kahyangan. Bunga menjadi simbolisasi atas karya seni yang selain indah juga penuh dengan makna. Berbasis pada eksperimentasi kerangka kerja artistik yang dialogis terhadap konteks lokasi yang penuh dengan nilai historis, pameran ini menghadirkan lapisan kesadaran dan persepsi baru tentang ruang kultural kawasan Pura Mangkunegaran Surakarta. Inisiasi ‘SURAKUSUMA – Mangkunegaran Art Garden’ berpijak pada latar sejarah Surakarta yang merupakan ruang temu antarbudaya sejak era Hindia Belanda. Surakarta, kota multikultur tempat modernisme berkembang pesat, dengan Mangkunegaran sebagai pusatnya. Dalam catatan sejarah, Mangkunegaran menjadi ruang publik yang moderat dan demokratis, tempat budaya Timur dan Barat bertemu, beradu dan berpadu. Banyak para seniman dan pemikir dari Eropa berkunjung ke Mangkunegaran, menggali pengetahuan tradisi Jawa, sekaligus membawa beragam pemikiran, corak karya, dan tradisi Barat. Pertukaran dan transfer pengetahuan pun terjadi secara harmonis, lewat kerja-kerja intelektual maupun jejak material yang mengisi ruang fisik – sosio-kultural. Jejak tersebut dapat dijumpai dalam corak arsitektural, ornamen bangunan, maupun elemen pendukung tata ruang, termasuk arsitektural taman.
Ruang akulturasi
Taman dan patung telah menjadi bagian ruang spatial kebudayaan Jawa klasik, sebagaimana tercatat dalam relief candi, prasasti dan kesusastraan. Sejak era kerajaan Hindu-Budha hingga puncaknya pada kerajaan-kerajaan Mataram Islam, taman istana berhias arca candi dan komposisi vegetasi, menjadi cerminan sejarah lampau yang sarat nilai, simbol, dan filosofi. Modernisasi barat yang hadir lewat kolonialisasi, turut melengkapi konsepsi dan corak taman Istana, menjadi ruang akulturasi sekian peradaban. Merentang kajian tekstual atas sejarah taman klasik hingga modern khususnya pada taman Pura Mangkunegaran, Surakusuma menghadirkan karya-karya patung kontemporer sebagai satu cara membaca sejarah spatial ruang budaya, menelusuri kesinambungan dan perubahan praktik seni visual yang beririsan dengan situs sejarah, serta membaca posisi seni patung kontemporer dalam mengisi ruang dialog bersama publik.
Museum Tanpa Dinding
Dalam sejarah seni, dinamika seni patung dan wacana ruang publik sendiri berjingkat, dari pelengkap arsitektur landskap, simbol ritus religi, ruang pleasure, hingga medan kuasa simbolik. Kritik atas konvensi seni modern, telah mendorong batasan-batasan estetika, peran patung di ruang publik, dan bagaimana cara karya seni patung berinteraksi dengan masyarakatnya. Hal ini mendorong wacana perluasan medium dan medan presentasi seni patung. Hingga pada puncak ekperimentasi, saat seni patung terlepas dari standar formalis, pedestal, dasar ideologis, dan keterikatan atas situs tertentu (siteless), terminologi sculpture garden lahir sebagai ruang praxis seni patung kontemporer. Sculpture garden identik dengan kehadiran museum seni, dan museum menjadi gerbong awal yang mengawal pergeseran dan perubahan wacana ini. Maka, pameran Surakusuma dihadirkan oleh Tumurun Museum sebagai ‘museum tanpa dinding’, melampaui sekat dan dinding pameran, menjadikan bentang alam taman Pracima sebagai konteks hidup bagi karya sekaligus mensintesiskan makna.
Spektrum waktu dan realitas
Spektrum tematik karya dalam pameran ini berpendar pada problem material – medium, inspirasi sejarah, refleksi atas waktu dan realitas, penghayatan alam, hingga imajinasi bentuk. Menghadirkan karya seniman Indonesia dan mancanegara, dengan rekam jejak presentasi yang dapat ditelusuri pada institusi-institusi dan gelaran seni prestisius Internasional. Surakusuma menghadirkan karya Aditya Novali (Indonesia), Faisal Habibie (Indonesia/German), Wedhar Riyadi (Indonesia), Gabriel Aries (Indonesia), Yunizar (Indonesia), Ugo Rondinone (Swiss), Alicja Kwade (Polandia/German), Bernar Venet (Perancis) dan Alex Seton (Australia). Pada ruang dalam Pracimasana – Pracima Tuin turut dihadirkan di karya Rita Widagdo (Indonesia) dan Gregorius Sidharta (Indonesia) sebagai pembacaan jejak penting capaian seni patung modernis Indonesia.
Eksplorasi bentuk dan ide
Sebagai gelaran seni pertama di Indonesia yang secara khusus mendudukkan sculpture garden sebagai gagasan konseptual dan peristiwa budaya, pameran ini menempatkan seni kontemporer sebagai media untuk membaca sekian fenomena sosial dan keragaman cara pandang, menjadi wahana perjumpaan dan kontekstualisasi nilai-nilai hidup hari ini. Setiap karya dalam pameran ini menyatakan diri sebagai karya publik, dan memenuhi fungsinya dengan menciptakan ruang pertemuan dan dialog bersama publik. Dengan demikian, karya-karya yang hadir menaturalisasi, membenarkan, menormalkan narasi, peristiwa, dan sejarah yang diceritakannya, yang selama ini belum terwakili oleh monumen maupun peristiwa seni yang telah ada. Surakusuma menekankan estetika dan pengalaman, mengeksplorasi bentuk dan ide, yang pada gilirannya: membentuk seperti apa masa depan kita.