Saat banyak seniman berkumpul dalam gegap gempita ARTJOG 2024, seorang seniman dari Jogja malah menggelar pameran tunggal di kota Jakarta, Namanya Sicovecas, seorang street artist, ia mempresentasikan 18 karya di Artsphere Gallery Jakarta bertajuk “Behind The Curtains”, yang berlangsung dari tanggal 22 Juni hingga 27 Juli 2024. “Selamat ulang tahun Jakarta!”, begitu kalimat pertama yang ia ucapkan ketika ia didaulat untuk menyampaikan sambutan pada pembukaan pameran, pilihan kalimat awal yang unpredictable dan membuat tetamu tersenyum. Ia tak pernah belajar formal seni rupa, sedari kecil pun bukan anak yang gemar corat-coret di atas kertas. “Aku sudah 18 tahun menggambar di jalanan, dan berpameran baru di 6 tahun terakhir,” ujarnya kepada Luxina. “Aku ingin menggali lebih dalam seberapa paham aku mengenal diriku, kenapa aku punya ketertarikan pada estetika dan bentuk bentuk seperti ini.”
‘Kotor’ yang tidak mengintimidasi
Mungkin dasar pemikiran Sic tersebut yang membuat karya-karyanya yang dipamerkan ini berbeda dengan citra street art yang umumnya berkultur pop, coretan dari hasil respons emosional manusia, dan suara-suara protes. Lukisan-lukisan Sic terlihat lebih elegan, cakaran kuasnya memang terasa cadas tanpa keraguan, namun palet warna yang dipilih terasa lembut, pastel dan pink-pink warna cinta. Tebaran warna ditata berdimensi, seperti berlapis-lapis menjauh. “Sebenarnya saya dapat warna-warna ini dari pengalaman menggambar di Jogja, menurut saya estetika di Jogja itu lumayan ‘kotor’, tapi somehow dibalik kekotoran tersebut orang-orang bisa hidup secara harmonis. Nah, kotornya itu, kotor tapi teduh, kotor tapi tidak mengintimidasi, dan keteduhan itu yang bikin pola bentuk dan warna saya jadi seperti sekarang ini,” jelas Sic di depan salah satu karyanya yang berjudul ‘Family’, dengan rupa abstrak yang kalau diteliti tampak seperti sosok wanita berkemben yang menyenderkan kepalanya ke satu bahu seseorang empuk.
Dimensi dari Kali Code
Apa yang menggerakkan Sicovecas sampai gerakan kuasnya seemosi itu? “Saya lahir dan besar di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Di masa SMA ada musibah yang menimpa ibu saya, ibu mendapat pelecehan seksual dari atasannya, ibu saya protes, malah dia di penjara 1 tahun. Di masa 1 tahun itu saya enggak bisa menerima kenyataan. Saya tidak punya siapa-siapa waktu itu, akhirnya saya lari ke jalanan, buat graffiti di jalan murni untuk saya melampiaskan amarah. Waktu itu di sebelah sekolah saya (Kolese De Britto) ada proyek mangkrak, di situlah saya memulai graffiti, lalu juga di jembatan flyover Lempuyangan.” Ujar Sic. Ketika ditanya tentang dimensi dan layer di lukisannya, ia menjelaskan bahwa itu terinspirasi dari dimensi dan tumpang tindihnya perumahan di Kali Code.
Jendela adalah sebuah portal
Pada pameran “Behind The Curtains” ini, Sicovecas meninggalkan wahana outdoor, dan bermain dalam pola pikir indoor. Ini merupakan tantangan antara perbedaan kondisi, suasana, serta energi dari ruang publik dan ruang studio. Dari yang biasanya menerjemahkan aspek komunal dari graffiti – atau yang disebut Richard Cook (2024) sebagai “senseplace” – dari bentuk dan tekstur dinding yang tidak beraturan, perubahan cahaya, jarak pandang, menjadi masuk ke dalam ruang, dalam rumah yang terbatas. Fitur yang diangkat sebagai primadona adalah jendela. Bagi Sicovecas, jendela mewakili sebuah portal, tempat pertukaran, cahaya masuk dan bayangan, selembar bukaan yang membatasi dunia luar dan dalam.
Menjauh dari komputerisasi dan AI
“Latar belakang pendidikan saya kan IT, secara arahan kan anak IT biasanya cara berpikirnya terkomputerisasikan, digital dan biasanya serba geometrik. Apa lagi sekarang eranya AI, semuanya bisa auto generated. Saya mencoba menjauhi itu semua dengan melukis, saya berusaha menjadi lebih primitive, menjadi human being, the closest style from being human ya gerakan tangan, tangan yang tidak sempurna, imperfection yang tidak perlu dibuat buat,” kata Sic sembari menyampaikan juga bahwa ketidak sempurnaan yang ia torehkan membawanya melakukan street art ke berbagai tempat. “Arena street art di indonesia lumayan subur, tapi tidak dalam ranah benci satu sama lain, komunitasnya saling mencoba menkoneksikan setiap pulau, jadi dari Jogja saya sering main ke Jakarta, Bali, Padang.”