Satu rumah besar di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, berubah layaknya sebuah galeri. Rumah berhalaman luas, yang biasanya tenang tanpa suara hiruk pikuk, kali ini penuh dengan mobil-mobil yang berdatangan silih berganti. Apa yang sedang berlangsung di rumah ini? Luxina melangkah masuk ke foyer, ruang pertama di rumah ini. Di bawah liukan tangga terpajang foto seorang wanita berkebaya merah dan kain batik Sogan, ia duduk santun elegan khas wanita Indonesia, di sebelah kiri foto terjuntai sehelai batik modifikasi motif lereng berlatar gradasi warna, di sebelah kanan sehelai kain ulos bertuliskan kalimat Ulos Ni Tondi Dohot Badan, Ulos yang ditenun untuk pembangkit dan penyemangat badan. Wanita yang duduk di dalam foto tersebut bernama Adiati Arifin Siregar, ia dan sejumlah 78 helai wastra miliknya sedang dipaparkan dengan rapi, wastra yang telah menemaninya dalam mendampingi karir suami. Bapak Arifin Siregar, Gubernur Bank Indoesia (1983-1988), Menteri Perdagangan (1988-1993), ikut serta dalam pembentukan lahirnya Asia-Pacific Economic Cooperation (1989), dan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (1993-1997).
Wastra dari Bung Karno ke Bill Clinton
Dari foyer, pengunjung masuk ke sayap kiri rumah. Ruang ini berisi paparan wastra dengan tema ‘RED ROOM’, terdiri dari kumpulan kain-kain Batik yang umumnya Batik pesisiran. Mereka dijuntaikan di dinding, dibentangkan di langit-langit, dan dijuraikan di kursi. Satu yang paling ‘stand out’ tentu saja Batik Sawunggaling, berwarna merah berlatar hitam. Motif Sawunggaling yang menggambarkan pertarungan sepasang ayam jago adalah salah satu motif masterpiece dari Solo. Ia diciptakan oleh Panembahan Hardjonagoro atau dikenal dengan nama Go Tik Swan atas permintaan Presiden Soekarno di tahun 60an. Di antara batik-batik bertema merah di ruang ini, terdapat satu set songket merah lengkap dengan kebayanya. Setelan kebaya dan songket ini pernah dipakai Adiati saat ia dan keluarga dalam kunjungan resmi ke kediaman Presiden Bill Clinton. Foto berpigura dari kesempatan tersebut juga disandingkan dengan sang songket.
Kupu-kupu yang teguh hati
Dari ruang ‘RED ROOM’, pengunjung masuk ke ruang tamu yang lebih luas. Di sini terdapat beberapa tema seperti sudut ‘PELANGI NUSANTARA’, berisi Batik-Batik dari Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo. Sudut ‘IWAN TIRTA’, berisi Batik-Batik karya maestro Iwan Tirta pilihan Adiati. Yang terakhir sudut ‘NUANSA PASTEL’, pilihan Batik-Batik bergradasi warna-warna muda, walau ada juga beberapa bermotif Sogan, tetap terdapat isen-isen dan flora berwarna peach dan pink. Pameran ini sedikit banyak mencerminkan siapa sosok Adiati Arifin Siregar, hampir dari semua Batik-Batik yang ia miliki kerap berunsur motif Lereng dan Kupu-kupu. Motif Lereng bermakna keteguhan, tekat yang kuat, dan harapan untuk kemakmuran. Motif Kupu-kupu, bermakna kelembutan dan keanggunan. Pada Batik-Batik Iwan Tirta yang terkenal bermotif dominan dan ‘strong’, Adiati juga memilih Batik yang berunsur motif kupu-kupu, ia seperti memilih sesuatu yang lembut dan elegan dari setiap situasi yang ia hadapi.
Mari kita pamerkan Wastra Indonesia
Pameran ini sebenarnya inisiatif dari Moza Pramita sebagai kejutan pada ulang tahun Adiati. 78 helai wastra dipilih sebagai angka ulang tahun Adiati yang ke 78. Acara yang rencananya berlangsung hanya satu hari ini menjadi berkepanjangan karena ternyata banyak tamu dan kerabat yang tak mau melewatkan kesempatan melihat langsung koleksi wastra Adiati. Moza dibantu oleh Chandra Satria, seorang kolektor dan kurator Batik yang dihormati di kalangan pecinta wastra di Jakarta Selatan. Ketika pameran akan usai, Moza pun kembali mendapat pesan dari Adiati: “Please jangan dibongkar dulu… Teman-teman ibu SMA pada mau datang hari Jumat mulai jam 10-14.” Adiati tidak tahu menahu ketika Moza sibuk-sibuk mempersiapkan pameran ini, di hari H ia terlihat sangat terharu dengan mata berkaca-kaca. Moza menikah dengan Panya, putra kedua dari Adiati dan Arifin Siregar. Pameran inisiasi Moza ini sungguh sangat baik bagi pesona wastra Indonesia, sejatinya wastra tersebut untuk diperlihatkan dan disebarkan keindahannya. Moza bukanlah ahli galeri dan jagoan pembuat pameran, tetapi usahanya ini layak ditiru. Ia bermodalkan gawangan dan sedikit tata cahaya amatiran, tetapi hasilnya sangat mengesankan. Semoga generasi-generasi seperti Moza mampu ‘membongkar’ tumpukan wastra ibu-ibu mereka dari dalam lemari, lalu memajangnya untuk kalangan sendiri. Tak perlulah keahlian yang tinggi untuk memaparkan wastra, karena ketika dipajang wastra Indonesia mampu ‘bersinar’ sendiri dengan keindahannya.