Pameran seni kontemporer kembali mengemuka di Jakarta dengan pameran tunggal Natasha Tontey di Museum MACAN. Pameran ini berjudul: “Primate Visions: Macaque Macabre” (16 November 2024 hingga 6 April 2025), merupakan hasil kolaborasi antara Audemars Piguet Contemporary, Museum MACAN, dan sang seniman. Natasha membawa audiens masuk ke dunia fiktif imersif yang memadukan film, instalasi, dan narasi budaya Minahasa. Natasha menjadikan Yaki – primata makaka jambul hitam khas Minahasa – sebagai objek eksplorasi. Yaki, yang terancam punah, memainkan peran unik dalam struktur sosial masyarakat Minahasa, baik sebagai hama maupun bagian dari kehidupan adat. Melalui instalasi dan video kanal tunggal, Natasha menghadirkan sudut pandang spekulatif tentang hubungan manusia dan Yaki, mengajak audiens untuk memahami interaksi antarspesies yang kompleks.
Primate Visions: Macaque Macabre
Fokus pada ritual Mawolay, tempat penduduk Minahasa mengenakan kostum menyerupai monyet untuk mencegah Yaki mencuri panen, membawa dimensi historis ke dalam narasi. Natasha menggunakan pendekatan naratologi spekulatif untuk membedah interaksi budaya ini, dengan inspirasi dari tulisan-tulisan teoritis Donna Haraway. Hasilnya adalah perpaduan unik antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi yang membangun dunia baru penuh keganjilan radikal.
Estetika film horor dan teatrikal
Pengalaman imersif ini semakin kaya dengan instalasi fisik berupa set, kostum, dan perangkat latar yang diambil dari film. Pendekatan Tontey yang menggabungkan estetika film horor dan produksi teatrikal swakarya merefleksikan warisan sinematik Indonesia sekaligus membuka ruang refleksi terhadap batas-batas kehidupan manusia dan non-manusia.
Warisan Budaya
Venus Lau, Direktur Museum MACAN, mengapresiasi karya ini sebagai bentuk ajakan untuk keluar dari pola pikir antroposentris. “Melalui imaji narasi spekulatif, pameran ini menggugah kesadaran tentang warisan budaya yang terabaikan dan keterkaitan antara manusia dan non-manusia,” ujarnya. Karya ini tidak hanya berbicara tentang masa kini, tetapi juga merancang kemungkinan masa depan yang lebih kolaboratif.
Sorotan Audemars Piguet Contemporary
Denis Pernet, Kurator Audemars Piguet Contemporary, menyoroti skala besar dan kompleksitas karya Natasha ini sebagai representasi keyakinan mereka terhadap kekuatan kreativitas. Dengan menggabungkan tradisi lokal dan pendekatan global, pameran ini membangun dialog lintas batas yang mencerminkan semangat kolaborasi antara budaya dan teknologi. Pameran ini tidak hanya menjadi momentum penting bagi Natasha Tontey sebagai seniman, tetapi juga bagi Museum MACAN sebagai ruang yang terus mendorong dialog antara seni, budaya, dan masyarakat. Bagi Anda yang ingin mengeksplorasi hubungan manusia dan alam lebih dalam, Primate Visions: Macaque Macabre adalah destinasi yang wajib dikunjungi.
Proyeksi Kesetaraan
Pameran ini cukup memprovokasi pikiran, Natasha memproyeksikan bahwasannya manusia dan primata berkemungkinan akan setara. “Nanti, di masa depan yang entah tahun berapa, ketika berinteraksi dengan Yaki, dengan cara yang enggak kayak cara orang sekarang, setara, makan bareng di meja,” ujarnya ketika ditemui LUXINA di Museum Macan. Ia juga mengutip ucapan Karlina Leksono Supelli (Philosopher dan Astronomer) yang mengatakan: Bacalah fiksi sebanyak-banyaknya, karena dengan fiksi kita bisa membuka cakrawala pikiran. “Itu aku setuju banget, karena dengan fiksi juga kita bisa membahas hal yang ringan jadi berat, yang berat jadi ringan, dan bisa memiliki sudut pandang yang banyak, dan membebaskan alam berpikir,” ujar Natasha Tontey.