Saat tulisan ini terbit, pekan mode Milan fall/ winter 2022/ 2023 sedang terjadi. Setelah Milan selesai, maka dilanjutkan dengan Paris fashion week fall/ winter 2022/ 2023. Sebelum Milan, London, sebelum London, New York. Untuk jurnalis fashion, ini disebut sebagai sirkuit fashion month, yang kalau konsisten untuk meliput, maka jurnalis akan hadir di setiap show di setiap kota tersebut. Tapi apa fungsi sesungguhnya dari pekan mode atau fashion week ini?
Dari persepektif jurnalistik, fashion week berfungsi untuk mengabarkan trend dari major brand/ desainer yang merupakan brand atau jenama yang memiliki potensial trend yang tinggi atau jenama yang menjadi benchmark bagi jenama-jenama lain yang tergolong minoritas. Selain itu, jurnalis juga akan memberikan point of view mengenai desain, karakteristik dan craftsmanship dari koleksi yang di tonton. Kelebihan menonton fashion show langsung adalah, jurnalis bisa melihat langsung tekstur bahan yang digunakan, bagaimana bahan tersebut “bekerja” dengan baik pada pakaian yang didesain, dan bahkan bisa menyentuhnya bila melihat langsung saat sesi re-see atau melihat ulang keesokan hari. Jurnalis fashion juga menjadi mata untuk masyarakat/ pasar, dimana jurnalis dituntut untuk mampu mengkurasi mana yang baik dan kurang baik, yang bagus dan kurang bagus, baru dan lama, yang trendy, out of date dan bakal menjadi trend, hingga mana yang merupakan produk asli dan contekan. Sehingga masyarakat mampu memilih dan memiliki referensi yang luas untuk berbelanja, dan memahami koleksi yang berkualitas. Selain jurnalis, siapa lagi yang bisa datang untuk menyaksikan fashion show? Tentu saja buyers dari berbagai departmen store atau e-commerce, seleberitis dan pemakai loyal. Tapi saat ini, juga ditambah dengan digital creator atau influencer, yang memang sekelas dengan level jenama tersebut.
Kembali pada fungsi, pekan mode sebenarnya untuk mempermudah industri fashion retail berjalan dengan mudah. Contoh, saat ini yang akan diperagakan adalah koleksi fall/ winter 2022/ 2023. Yang mana koleksi ini akan berada di pasar sekitar bulan Agustus – September 2022 mendatang. Sebelum sampai di bulan tersebut, koleksi-koleksi ini akan diproduksi dan dikirim ke negara tertentu yang sudah memesan. Tentu saja ini memakan waktu kan? Maka dari itulah mengapa pekan mode diadakan enam bulan sebelum masa pemasaran tiba. Ini adalah salah satu contoh.
Siapa saja yang bisa berpatisipasi dan masuk ke dalam kalender fashion week ini? Semua jenama/ desainer yang sudah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh komite. Apa sajakah kriteria tersebut? Salah satunya adalah bahwa produk tersebut sudah memiliki jaringan retail, kemudian memiliki kekuatan produksi, mengeluarkan desain yang original, memiliki karakter yang kuat dan juga modal yang besar. No money, no business. List kriteria ini masih panjang untuk dibahas satu – persatu di sini.
Bagaimana kalau ada jenama luar negara yang ingin berpartisipasi di pekan mode kota-kota besar ini? Tidak semudah itu. Apalagi kalau jenama tersebut bukan jenama lokal dan berasal dari negara lain. Komite fashion week akan mengkurasi dengan ketat setiap jenama yang ingin mendapatkan slot resmi untuk mengadakan show. Kurasi ini bukan hanya dari desain saja, tapi banyak faktor. Craftsmanship, detail, krakter, originalitas, harga, material sampai konsistensi. Dan ini bukan sesuatu yang mudah dicapai.
Tapi di Indonesia, fungsi fashion week jauh berbeda dari apa yang terjadi di kota mode dunia. Seakan-akan setiap sudut kota memiliki kompetensi untuk mengadakan fashion week, yang berakhir pada konten tanpa manfaat. Bahkan media massa (Indonesia) pun tidak membahas mengenai trend, desain, kulitas atau craftsmanship dari koleksi yang diperagakan, tapi acara fashion week tersebut. Sehingga ini membuat masyarakat beranggapan bahwa fashion week hanya hiburan semata dan ajang mencari sponsor untuk desainer yang ingin menggelar koleksinya. Sehingga desainer akan membuat koleksi yang kaya akan “pesan-pesan” sponsor dan kehilangan karakter dari desain yang dibuat.
Yang lebih ironis lagi adalah, betapa ramainya jenama/ desainer (Indonesia), yang ingin menampilkan koleksinya di kota mode dunia tersebut di atas, dengan objektifitas yang blur. Dengan undangan yang isinya juga berpaspor Indonesia dan liputan yang juga ditulis di media Indonesia. Sangat wajar untuk memiliki jenama yang dikenal global dan internasional, tapi bukan dengan mengikuti fashion week di empat kota tersebut. Masih banyak cara lain yang berpotensi untuk mengembangkan fashion secara bisnis dan menjadi global. Keironisan ini diperparah lagi dengan ke-tidak-pahaman mengenai konsistensi, baik dari sisi koleksi dan partisipasi di fashion week. Partisipasi di ajang fashion week, harus terus menerus mengikuti musim yang terjadi, bukan sekedar pertisipasi satu musim dan mengaku “berhasil” menembus Paris atau kota manapun. Dari manakah keberhasilan tersebut diukur? Apakah banyaknya media fashion lokal (empat kota mode Paris, New York, Milan, London) yang meliput koleksinya? Banyaknya buyer yang memesan koleksi? Masih menjadi tanda tanya besar.
Menggelar fashion show adalah hal yang wajar dan sah bagi desainer atau pemilik jenama. Tapi bukankah fashion show membutuhkan dana yang tidak sedikit? Yang mana saat pegelaran fashion show terjadi, in return, desainer/ pemilik jenama juga harus memikirkan: “Bagaimana ya agar modal fashion show ini bisa menjadi keuntungan?”, yang bukan keuntungan hasil sponsor pastinya. Di sisi inilah, desainer harus cerdas dalam mengelola bisnisnya. Yang mana, saat ini, desainer Indonesia bisa mengadakan fashion show di manapun di belahan dunia ini, tapi tujuan bisnis yang utama, yaitu mencari keuntungan, apakah sudah sepadan?
Dari sini, konsumen dan pasar, seharusnya bisa belajar dan melihat, untuk memilih dan memilah, mana yang memang layak untuk berada di panggung runway global. Pasar juga harus belajar mengkurasi mana produk yang berkualitas tinggi dan rendah dengan adanya fashion week, apalagi untuk penikmat dan pengguna fashion itu sendiri. Untuk kasus ini maksudnya adalah fashion week yang sebenarnya, dengan kalender resmi yang di keluarkan oleh komite. Jangan melihat suatu jenama masuk dalam golongan terbaik dan terbagus karena keikutsertaannya pada sebuah fashion week. Sebagai konsumen, cerdaslah dalam menghamburkan uang dan mengonsumsi konten berbau fashion.
Foto courtesy of Dior