Dengan segala citra fashion Indonesia yang cukup ‘ruwet’ belakangan ini, masih banyak orang-orang yang tetap teguh peduli dengan wastra Indonesia, wastra yang membuktikan bahwa Indonesia punya sesuatu yang sangat penting bagi sandang, sesuatu yang berjalan turun temurun bahkan sebelum ‘fashion week’ lahir di dunia ini. Salah satu yang tak pernah putus asa mengibarkan wastra Indonesia adalah CITA TENUN INDONESIA (CTI), didirikan pada 28 Agustus 2008, merupakan perkumpulan para pecinta Tenun yang memiliki tujuan melestarikanTenun Nusantara sebagai warisan budaya tinggi (heritage). Program kerja CTI mencakup pelestarian, pelatihan dan pengembangan perajin untuk meningkatkan produksi yang bekerjasama dengan berbagai pihak, dalam rangka memperluas pasar baik di dalam negeri dan mancanegara.
Rabbanin Project melestarikan dan memberdayakan penenun
AKhir bulan Maret lalu, CTI kembali muncul, memaparkan kembali kain-kain koleksi mereka yang selama ini tersimpan rapi selama pandemi. Kain-kain tersebut tampil dua hari dalam aktivasi pameran dan presentasi fashion di Ashta District 8, Jakarta Selatan. Acara digagas oleh Rabbanin dan Mel Ahyar. Dewi Ivo Rajasa, Pendiri, Rabbanin Project mengatakan “Ini merupakan kali pertama kami bekerja sama dengan Mel Ahyar. Jiwa seni dan kreatifitas Mel Ahyar memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Koleksi kali ini pun sejalan dengan misi Rabbanin project dalam melestarikan budaya Indonesia, seraya memberdayakan pengrajin lokal, melalui produk fashion yang juga kami geluti. Kami berharap koleksi ini tidak hanya dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kain nusantara, tetapi juga dapat mendorong produk lokal di pasar internasional.”
Perbedaan disatukan Mel Ahyar dalam pertemuan tenunan
Demi melihat keanekaragaman koleksi wastra CTI, Mel Ahyar terpicu dengan apa yang ada di dalam lingkaran sosial saat ini, bahwa banyak sekali di antara kita orang yang sudah berdarah campuran, antara Minang dan Bali, Batak dan Jawa, Aceh dan Banjar, Melayu dan Sunda, Madura dan Palembang, Ambon dan Cina, Arab dan Bugis, dan lain-lain, yang ternyata bisa harmonis dan langgeng. Dari sinilah Mel Ahyar mengawinkan kain-kain tenun dari beragam suku Indonesia ke dalam satu rancangan pakaian. Untuk beranjak dari siluet tradisi, Mel membesut desainnya ke gaya rancangan yang cenderung avant-garde, bermain siluet oversize yang modern. Kain-kain ia gabungkan, diberikan twist serta detail-detail kinerja tangan khas Mel Ahyar. “Keragaman budaya Indonesia tak pernah putus memberikan inspirasi bagi desainer untuk berkarya. Perbedaan yang dipadukan dengan harmonis dapat melahirkan sebuah karya dan inovasi. Indonesia negara besar dan kaya budaya yang harus dilestarikan oleh generasi penerus, tentunya lewat karya-karya yang dapat mengharumkan nama bangsa,” ujar Mel Ahyar. Koleksi Mel yang diberi judul dengan Archipelago Kawin Campur ini menggunakan 12 motif tenun yang berbeda-beda, ada tenun Garut, tenun Garut bulu, tenun Jawa, tenun Baduy, songket Bali, songket Bali alam, tenun NTT, tenun Manggarai, blongsong Palembang, tenun NTB, tenun Batubara dan tenun gedog Tuban. Koleksi terdiri dari 18 luaran, 3 gaun panjang dan 4 kemeja. Bianca Lutfi, Pengurus Cita Tenun Indonesia mengatakan, “koleksi ini merupakan terobosan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan produk lokal serta kain tenun nusantara. Koleksi ini tidak hanya mampu melestarikan budaya dan memperkenalkannya ke mata dunia, namun membuka pintu rezeki bagi para artisan kain daerah di Indonesia.