Selama ini banyak sekali anggapan bahwa Maria Grazia Chiuri, Creative Director Dior, menggeserkann persepsi dunia tentang Bapak Christion Dior yang dikenal identik dengan super elegan, super lady, dan keanggunan yang untouchable. Maria dianggap membuat Dior kini menjadi semakin boyish (walau tetap elegan) dan mudah untuk melebur di dalam social circle. Padahal kenyataannya, apa yang dilakukan Maria ini berdasarkan riset mendalam yang ia lakukan di dalam rumah mode Dior. Maria menemukan betapa Bapak Dior bukanlah sosok yang eksklusif, ia sosok yang mengutamakan kebersamaan, ia membangun Dior berkat dukungan adiknya, Catherine Dior, juga teman-teman wanita yang ia anggap sebagai bagian dari jiwa. Ada Madame Raymonde Zehnacker, tangan kanan Dior, yang saat itu bertindak sebagai direktur studio desain. Marguerite Carré, yang mengeksekusi sketsa Dior menjadi pakaian yang nyata. Mitzah Bricard, mengepalai urusan topi, pecinta motif leopard, dan juga muse bagi Bapak Dior. Dari kehidupan Dior inilah Maria menghadirkan rancangan-rancangan yang bisa melebur ke dalam lingkaran sosial para pemakai rancangan Dior, pakaian-pakaian yang berkonsep kebersamaan, sehingga melahirkan rasa yang nyaman dalam pergaulab, bisa nge-gang, dan secara visual tidak menjadi ‘stand out’ sendiri.
Stand out karena great styling dan perfect finishing
Walau begitu, jika diteliti lebih dalam koleksi Dior ini tetap ‘stand out’ dari segi perfection, konsep pemikiran, proportion, dan styling. Kemeja putih sebagai elemen utama (siapa yang mampu memusuhi kemeja putih? Tak ada), di sandingkan dengan sweater motif Tartan longar, dengan hoodie bahan wol, dengan puff mini dress plus celana ala bicycle pants, dengan overcoat, dan dengan banyak kreatifitas lain. Diperkirakan look yang bakal ‘mewabah’ adalah segala rok atau dress mini dikenakan dengan bicycle pants. Juga yang mengesankan adalah setelan tshirt putih dengan strapped corset, namun korsetnya tidak dikancingkan di depan, sehingga terjuntai bagai vest tak terkancing. Wow, what a great styling.