Work From Home, membuat banyak orang jengah pada ruang, rasanya seperti dihadapkan pada keterbatasan, di antara benda-benda yang itu-itu saja. Dalam perasaan massal terhadap ruang tersebut, pelukis Laila Tifah malah menciptakan ruang yang membuat dilema, antara enggan berada di dalamnya tapi juga sayang untuk dilewatkan begitu saja karena ada banyak sesuatu yang layak diinvestigasi di dalamnya. Ruang itu ia gambarkan lewat lukisan yang berjudul ‘Dimana Bakcang’ dimensi 185 x 300 cm (cat akrilik di canvas), redup dalam suasana sore. Ruangan cukup luas, tapi terlalu sesak dengan makanan yang tersebar dimana-mana, di atas meja hingga ke kursi-kursi, tamu hanya bisa berdiri, di teras luar ada kursi panjang yang mejanya juga penuh makanan. Semua makanan tampak masih segar, seperti baru dibuat, nagasari, roti, telur ceplok, tumpeng kecil, kue cincin, popcorn, kacang mede, biskuit gula warna-warni, ikan balado, jambu air, pisang, salak, labu, dan banyak lagi di dalam toples-toples. Tea pot, tea cup, aneka botol-botol. Sesuai judulnya, lukisan Tifah mengajak kita bermain mencari Bakcang, dan tidak berhasil ditemukan, entah dimana ia sembunyikan. Walau riweh, ruang ini bisa terasa nyaman, tenang karena tidak ada kontras warna yang tinggi. Dominasi warna viridian green, cobalt blue, dan warna komplimen madder lake, membuat bergairah namun sejuk. Sosok boneka panda tanpa emosi duduk di lantai, bersandar di kabinet kayu, ia tak bisa berbuat apa-apa (sepertinya ini personifikasi Tifah). Memang ruang kaya makanan ini lahir dari rasa kecemasan, “dalam beberapa kali percakapan panjang, karya-karyanya yang lahir empat tahun terakhir dilatarbelakangi oleh sebuah masalah yang memukul batinnya. ‘Sakit’ yang berkepanjangan.’Diabetes’”, ujar kurator pameran, Aa Nurjaman. “Makanan yang enak-enak itu mulai saya tinggalkan. Saya hanya bisa melukisnya.” Ungkap Tifah kepada Aa Nurjaman.
Pameran Berjiwa Dewi Sri dan Kepasrahan Hidup
Karya ‘Dimana Bakcang’ ini salah satu dari 48 artwork yang dipamerkan oleh Tifah dalam pameran tunggal berjudul ‘SRI’ pada tanggal 7 – 17 Februari 2021 lalu, di Jogja Gallery, Gondomanan, Yogyakarta. Artwork terdiri dari karya lukis dan drawing dengan rentang pembuatan mulai dari tahun 2004 hingga 2021. Di dalam kata pengantar kuratorial Aa Nurjaman menyampaikan bahwa istilah ‘Sri’ untuk kaum perempuan Jawa mengandung filosofi yang berasal dari cerita legenda Dewi Sri yang dikenal sebagai Dewi Padi atau Dewi Pertanian. Dalam karya sastra modern istilah Sri kerap digunakan sebagai simbol watak perempuan Jawa. Karya novel Sri Sumarah dan Bawuk yang merupakan gabungan dua novelet rekaan Umar Kayam, berkisah tentang perjuangan hidup wanita Jawa yang mengalami masa-masa sulit sekitar tahun 1960an. Sri, seorang priyayi yang menjadi janda mantri guru di sebuah kecamatan, yang tiba-tiba haru pasrah (sumarah) ketika suaminya menikah lagi. Kemudian Sri harus menjadi wanita tangguh ketika suaminya meninggal dunia. Sri bertirakat sebagaimana adat leluhurnya. Istilah ‘sumarah’ pun melekat menjadi “Sri Sumarah” ketika Tun, anak semata wayangnya diseret ke penjara, dan Yos, menantunya, hilang pada peristiwa Gestapu. Sri Sumarah pun harus tetap berjuang untuk membesarkan Ginuk, cucunya.
SILVER (150 x 170 cm / acrylic on canvas 2020)
Boneka Panda Di Tangan Wanita Jawa
Dera hidup ‘Sri’ diserap Tifah ke dalam pemikirannya untuk berkarya. Sakit yang Tifah idap, kemudian sosok Ibu dan tante-tantenya yang ia anggap berjiwa ‘Sri’, cukup membuat Tifah mampu menendang pameran tunggalnya ini tampil ke permukaan. Tifah sering mendengar ibunya menilai diri sebagai ‘Wong ndeso’, beberapa adik ibu juga pernah Tifah saksikan bekerja keras, bangun pagi subuh, untuk berjualan ke pasar Ngasem di sisi barat Keraton Yogyakarta. Namun deraan ‘Sri’ tampaknya tidak membuat Tifah stress, karya-karya Tifah tergolong tenang dan elegan, walau pemikirannya bergejolak rasanya Tifah bisa menerima kenyataan hidup, ini tergambar dari sosok-sosok yang ada di dalam goresannya. Semua berbahasa tubuh damai dan apa adanya, dengan ekspresi muka seperti ‘ya sudahlah, mau bagaimana lagi’. Pada lukisan berjudul ‘Tangguh’ dan ‘Tanpa Beban’, yang menggambarkan orang-orang yang menyunggi hasil panen di kepala, bahasa tubuh mereka terlihat wajar tanpa beban, tak ada otot mengencang, sementara posisi-posisi kaki tetap santai. Lukisan berjudul ‘Silver, menggambarkan 4 wanita tua berambut putih, mereka duduk-duduk santai di jalan lurus yang dipagari pepohonan sakura yang sedang rimbun berbunga putih. Mereka semua berkaus kaki hangat, memegang boneka panda (memegang masa lalu), wanita paling depan masih mengenakan cincin emas, pastinya cincin kawin. ‘Silver’ menggambarkan hari tua yang apa adanya tapi indah, masih setia dalam pernikahan, dipayungi oleh fantasi yang bersih seperti sakura.
TANPA BEBAN (185 x 300 cm / acrylic on canvas 2020)
Perjalanan Jati Diri Di Dalam Kanvas
Tifah lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1997 dari program studi Desain Interior, disiplin ilmu yang menuntut presisi, gambar ruang, dan kreatifitas berdaya terapan tinggi. Makanya, lukisan-lukisan Tifah walaupun imajinatif tetap ajeg karena garis perspektif yang nyata, dan ukuran objek yang mengikuti hukum perspektif. Karya-karya seperti ini, seimajinatif apa pun, akan tetap mudah difahami awam karena garis prespektif yang diciptakan. Dari pameran ini kita juga bisa melihat perjalanan jiwa Tifah menemukan jati diri, mulai dari karya-karya awal yang masih bertumpu pada hal-hal figurative, dan kini melesat dengan keberanian membolak-balik alam dan ruang, alam yang membentuk ruang, atau ruang yang mengandung alam. Dalam perjalanan tersebut, terasa juga kalau Tifah mengamati pelukis dunia, kita bisa merasakan mood Van Gogh pada gerakan goresan kuas Tifah dan cara Tifah menggambarkan furnitur. Untuk figur-figur yang ia ciptakan, tak pelak lagi berkarakter figurnya Gauguin, kokoh dan cenderung santai. By the way, Vincent Van Gogh dan Paul Gauguin pernah tinggal serumah di Arles, Perancis Selatan, pada musim gugur tahun 1888. Bagaimana kalau arwah seni mereka hybrid dan muncul di kanvas Laila Tifah?
KARBO I (180 x 180 cm / acrylic on canvas 2018)
RED SHOES (140x180cm oil on canvas 2012)