Protes, menyuarakan tuntutan dan hak, terjadi di jalur runway di hari pertama Paris Fashion Week, di Musée Rodin, dalam presentasi rumah mode Christian Dior. Protes ini memang sengaja dikemas kembali untuk mengangkat enerji suara kaum wanita yang turun ke jalan-jalan kota Paris di tahun 1968. Lalu bagaimana relevansinya dengan kondisi sekarang? Apa yang bisa dipetik dari kejadian 50 tahun yang lalu tersebut untuk hal yang menyenangkan dalam urusan berpenampilan?
Hippie, kata kunci yang diberikan Dior untuk kondisi saat ini. Gaya yang puitis, jalanan, individual, dan romantis. Hippie look menghindari kesan ‘baju baru’ dalam berpakaian, dan umumnya pakaian akan dikenakan sampai pakaian tersebut tak bisa dipakai lagi. Hm, cukup relevan ya. Untuk menampilkan karakter hippie ini, Dior banyak menggunakan teknik patchwork, tambal sulam, juga rok dan gaun yang terbuat dari sambung-sambungan aneka bahan. Bahan denim yang memang in dikala itu, ditampilkan lagi dengan warna biru indigo (ada juga dalam format patchwork).
Koleksi kali ini bagaikan perpanjangan suara Maria Grazia Chiuri sejak ia bergabung dengan Dior sebagai Creative Director di tahun lalu, ia pernah berslogan di atas t-shirt Dior dengan pesan ‘We Should All Be Feminists’ dan juga ‘Why Have There Been No Great Women Artists?’. Ini seperti teriakan Maria bahwa saatnya wanita bangkit. Maria adalah satu-satunya wanita yang memimpin rumah mode di Prancis saat ini. Lepas dari urusan demo dan protes, koleksi Dior ini tergolong cantik dan ‘easy’, hasil pemikiran seorang desainer perempuan yang mengerti akan apa yang baik dan menyenangkan untuk perempuan.
Foto dok. Dior