Antusias para pengunjung Plaza Ambarrukmo makin meningkat untuk menyaksikan gelaran Jogja Fashion Festival 2018 pada hari kedua, Sabtu, 24 Maret 2018. Masih sama dengan hari sebelumnya, JFF 2018 yang mengambil tema besar “Mixology” ini dibagi menjadi dua sesi, dan masing-masing sesi memiliki tema tersendiri.
Hari kedua JFF 2018 dibuka dengan sesi “Young & Feist”. Sesi ini ditujukan untuk generasi muda masa kini yang lebih dinamis dan punya kepribadian besar. Sebanyak 12 karya dari desainer dan tenant ditampilkan pada sesi yang koleksinya kebanyakan didominasi oleh gaya urban.
Foto: Desainer Lima lewat koleksi @limaniac yang bertema “Earth Heart” mengajak insan muda untuk menjaga bumi tercinta.
Sesi ini diawali dengan koleksi @limaniac karya desainer Muhammad Luthfi Majid atau dikenal dengan nama Lima. Dengan tajuk “Earth Heart” yang terinspirasi dari Earth Hour yang digagas WWF, tampilan koleksi @limaniac didominasi dengan gaya sporty dan urban yang nyaman. Menurut Lima, ia ingin mengajak para generasi muda untuk lebih peduli dengan lingkungan demi kelangsungan bumi. Ajakan ini terpancar lewat detail-detail printing koleksinya yang mengetengahkan kampanye selamatkan bumi.
Lima menjelaskan lebih lanjut bahwa bahan-bahan yang digunakan di ataranya yaitu fleece polyester yang ramah lingkungan. Selain itu, detail yang ditampilkan menggunakan pewarnaan alam sebagai bentuk tanggungjawab atas kampanye tersebut. Koleksi sebanyak delapan piece yang terdiri dari 4 look untuk pria dan 4 look untuk perempuan, ini didominasi dengan warna hitam, biru dan hijau sebagai refleksi dari hemat energy, kesejahteraan dan kesuburan.
Selain Lima, desainer lain yang tampil pada sesi pertama bertema Young & Feist adalah Linna Emmanuella lewat labelnya BeaChic. Parade fashion pun dilanjutkan dengan koleksi dari beberapa tenant dari Plaza Ambarrukmo, seperti Puma, Centro hingga J Rep.
Pada sesi kedua, tema “Ethnique Rhapsody” diketengahkan, dengan menampilkan tenun dan kain-kain nusantara. Malam itu, desainer Sofie mencuri perhatian lewat 16 koleksinya yang bertajuk “Dystopia” yang penuh dengan unsur-unsur etnik nusantara. Menurut Sofie, Dystopia yang merupakan lawan kata dari Utopia, memiliki makna masa depan yang lebih baik dari masa kini. Sofie ingin memasukkan berbagai budaya Indonesia tak hanya lewat motifnya, namu juga potongan-potongan yang unik dan tak terduga.
Foto: Sofie menampilkan koleksi yang banyak menggunakan tenun Roso yang didominasi warna-warna gelap.
Sofie juga menampilkan beberapa koleksi ready to wear nya yang lebih deluxe buat mereka yang ingin sesuatu yang baru. Koleksi Sofie kali ini juga banyak menggunakan bahan tenun Roso yang didominasi warna-warna gelap, seperti hitam, abu-abu, dan biru gelap.
Sebagian besar koleksi yang ditampilkan para desainer pada sesi kedua ini, banyak menggunakan tenun dari berbagai daerah di nusantara. Bahan ini dibuat menjadi koleksi dress yang cantk untuk acara-acara formal, hingga ready to wear untuk kegiatan sehari-hari.