Bangsa Jepang memiliki budaya yang sangat kaya dan berkarakter kuat. Dari pengalaman saya berkunjung ke Jepang atau dari film yang saya tonton dan buku serta literatur yang saya baca, budaya Jepang meliputi semua hal kehidupan dengan nafas filosofi. Termasuk mode, dan kalau melihat dari pakaian tradisional Jepang, Kimono, pesan yang disampaikan dari pakaian tersebut adalah bagaimana manusia membawa diri hidup di dunia ini. Dengan memakai kimono, setiap orang harus menjadi “pintar”, mulai dari cara memakainya, cara berjalan, cara berkegiatan hingga tata cara duduk memakai Kimono, semua ada aturannya yang membuat manusia lebih bermartabat. Belum lagi filsofi dibalik kain yang digunakan, cara pembuatan, cara mengikat obi, perbedaan Kimono wanita dan pria, ukuran panjang dan pendek hingga lebar lengan Kimono. Pakaian ini menjadi pakaian tradisional yang begitu dihormati sehingga tidak setiap orang bisa “mengobrak-abrik” Kimono menjadi komoditas yang kemudian dikomersialkan dan melupakan filsofisnya. Ini baru Kimono saja, kita belum membicarakan mengenai kuliner, arsitektur atau desain produk. Tingginya “kualitas selera” orang-orang Jepang, tercermin dari sini, baik secara intelektual dan intelegensia.
Dari tingginya budaya atau kultur bangsa Jepang tersebut, tentu saja bisa menghasilkan inspirasi yang tidak pernah habis. Tapi, lucunya, melihat fashion desainer berkebangsaan Jepang yang diakui di Paris, sebagai pusat mode dunia, tidak satupun dari mereka yang menjual budaya mereka tersebut untuk menjadi inspirasi dalam koleksi pakaian yang mereka buat. Namun justru mereka menciptakan sesuatu yang jauh berbau budaya, tapi tetap menghasilkan karakter ke-Jepang-an. Apakah itu?
Dari sekian banyak desainer yang berbasis di Paris, desainer Jepang bisa dikatakan cukup mendominasi dan berpengaruh di sirkuit fashion Paris. Paris yang merupakan kota dan pusat mode dunia paling organik, sangat sulit ditembus oleh desainer internasional, baik secara pasar dan circle komunitas. Namun apa yang membuat desainer Jepang begitu eksis dan dihormati di Paris? Apakah karena desain yang mereka buat atau kultur yang dikomersilkan sehingga membuat pecinta fashion Paris begitu tercengang?
Mari kita analisa satu persatu desainer Jepang yang paling berpengaruh di Paris dan apa yang mereka buat untuk merebut hati Parisian? Menurut buku “The Japanese Revolution in Paris”, karangan Yuniya Kawamura, yang membuat desainer Jepang begitu unik adalah bukan hanya dari pakaian yang mereka desain tapi posisi mereka yang berstatus non-Western fashion outsiders dan jumlah mereka yang sangat sedikit telah menjadi aset. Hingga suatu saat, Kenzo, merupakan desainer Asia pertama yang eksis di Paris yang mana sebelumnya belum pernah ada. Yang kemudian diikuti oleh Issey Miyake pada tahun 1973, Hanae Mori tahun 1977, Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo tahun 1981. Para desainer Jepang yang berada didominasi orang Barat ini, mulai menggunakan warisan budayanya untuk mendapat pengakuan oleh orang Prancis, dan mereka menyadari keuntungan finansial yang bisa mereka bawa ke negaranya dan negara lain di dunia. Tentutnya dengan persetujuan Federasi (organisasi fashion yang diakui pemerintah Prancis), pelan-pelan mereka menjadi insider.
Hanae Mori
Hanae Mori yang lahir di Jepang pada tahun 1926, membuka studio pertamanya di Jepang pada tahun 1951 dan kemudian banyak membuat kostum untuk film-film produksi Jepang dan seragam untuk Japan Airlines saat itu. Hanae Mori merupakan desainer wanita Asia pertama yang masuk menjadi anggota Chambre Syndicale de la Couture Parisienne dan ikut menandatangani peresmian organisasi yang melegalisasi couture di Paris tersebut. Rancangan Mori fokus pada pakaian wanita berpotongan modern minimalis dengan signature motif kupu-kupu. Koleksinya terdiri dari ready-to-wear dan koleksi couture pakaian formal wanita yang sama sekali jauh terlihat dari pakaian tradisional Jepang. Namun, dengan pintar Mori menyuntik unsur warisan budaya pada siluet lengan yang lebar seperti Kimono pada beberapa koleksi. Mori banyak bermain pada pola dan teknik jahit berbasis couture pada ready-to-wear, maka dari itu pula, Mori merupakan desainer yang memulai karir sebagai couturier di Paris, sementara (desainer Jepang) yang lain memulai dari ready-to-wear. Koleksi Mori kebanyakan adalah koleksi wanita-wanita bergaya kosmopolitan yang modern yang menyukai kepraktisan berpakaian, tapi dengan statement gaya yang berkelas.


Kenzo Takada
Pertama kali Kenzo (begitu ia biasa dipanggil), mendarat di Prancis, setelah enam bulan berlayar dari Jepang, pada 1 Januari 1965, tidak langsung mendapatkan kesuksesan dan nama besar. Ia harus bertahan dengan uang kiriman dari Ibunya yang ia minta, namun pada permintaan ketiga, ibunya menolak mengirim, tulis Yuniya Kawamura dalam bukunya yang berjudul “The Japanese Revolution in Paris”. Sejak itu pula, Kenzo mulai membuat sketsa rancangannya dan menjualnya pada rumah-rumah mode di Paris. Singkat cerita, pada tahun 1970, Kenzo yang saat bekerja sebagai fahsion stylist pada sebuah pabrik tekstil, Pisanti, Kenzo membuat koleksi yang merupakan padu padan dari kain yang ia beli di pasar Montmatre, dengan sisa-sisa kain yang ia bawa dari Jepang. Dari kain-kain tersebut, Kenzo menciptakan koleksi ready-to-wear yang eklektik dan tidak biasa. Yang kemudian menghasilkan tampilan di cover majalah Elle Paris edisi Juni 1970.
Ciri khas rancangan Kenzo adalah mencampur berbagai motif dan material. Kenzo memadukan motif bunga-bunga dengan stripes, katun dengan rajut, dan berani bermain dengan warna-warna yang meledak dan selalu berkesan ceria. Kenzo banyak bermain dengan berbagai bentuk siluet dan pola rumit, yang membuatnya menjadi lebih “maju” saat itu dari pada desainer-desainer Paris lainnya. Kenzo mampu membuat volume pada pakaian dengan mencampur berbagai material yang berbeda tersebut dengan teknik drape dan tumpukan lipit origami, ditambah padu padan motif tabrak yang dihasilkan.


Issey Miyake
Sebelum sukses di Paris, Issey Miyake sudah lebih dulu mencicipi karir fashion di New York sejak kepindahannya dari Tokyo tahun 1969. Tapi, sebelumnya Miyake sudah mengecap pendidikan di Chambre syndicale de la couture, Paris. Yang kemudian magang di rumah mode Guy Laroche dan Hubert de Givenchy. Cukup dengan pengalaman satu tahu di New York bekerja pada Geoffrey Beene, pada tahun 1970, ia kembali ke Tokyo dan membuka Miyake Design Studio yang fokus pada luxury womenswear. Sejak itu Issey Miyake memiliki teman-teman dari segala penjuru dunia yang bergelut di industri yang berbeda, mulai dari seniman tembikar hingga Steve Jobs, sang pendiri Apple.
Rancangan Miyake sangat berkarakter, yaitu berupa lipit-lipit atau pleats yang berulang. Teknik pleats ini ia temukan di awal tahun 80-an, dengan caranya sendiri, disaat ia sudah melebarkan mereknya di Paris. Kain yang di “sandwich” di antara dua kertas kemudian dilipat kecil berulang dan selanjutnya dipanaskan. Tapi proses ini dilakukan pakaian yang sudah jadi, bukan pada selembar kain. Proses ini membuat rancangannya menjadi sangat unik namun tetap membuat pemakainya bebas bergerak. Satu lagi kelebihan dari teknik ini adalah sangat mudah dalam hal perawatan. Hingga saat ini, pleats Issey Miyake telah menjadi signature style pada setiap rancangannya dan telah berevolusi lebih dari sekedar pleats. Issey Miyake adalah satu dari tiga yang disebut sebagai “The Fashion Threesome”, dan ia juga disebut sebagai “The Founding Father of Avant-Garde Fashion”.


Spring/ summer 1995 Spring/ summer 1995
Rei Kawakubo
Kalau Anda salah satu pemakai polo shirt Play – Comme des Garçons (dibaca Kom-de-Gahsong), itu hanyalah segelintir karya Rei Kawakubo yang merupakan turunan dari label utamanya. Ia pernah mengambil kuliah Sejarah Estetika di Universitas Keio di Tokyo, Jepang, tapi sebelumnya ia juga kuliah seni rupa dan sastra di Universitas yang sama. Setelah lulus, pada tahun 1967 ia bekerja pada perusahaan tekstil Asahi Kasei, sebagai fashion stylist freelance. Awal tahun 2004 ia membuka toko Dover Street, London, dengan nama Dover Street Market, yang menjual Comme des Garçons versi retail. Lama kelamaan Dover Street Market juga menjual berbagai produk fashion Jepang yang terkurasi sangat ketat. Bahkan, kalau bisa dikatakan, sales assistant yang bekerja di Dover Street Market juga sangat terkurasi.
Kawakubo tidak memiliki signature rancangan, tapi ia selalu merancang berbasis pada masa depan dan bentuk-bentuk yang tidak wajar untuk pakaian yang menghasilkan potongan avant garde yang tidak mungkin dicontek. Mengutip dari buku “The Japanese Revolution in Paris” karya Yuniya Kawamura, “Mereke bertiga (Rei Kawakubo, Yhoji Yamamoto dan Issey Miyake), telah menembus batasan antara Barat dan Timur, fashion dan anti fashion, modern dan anti modern”. Setiap koleksinya merupakan karya statement yang tidak main-main dan sangat berkarakter kuat. Sehingga ini membuat Rei Kawakubo sebagai desainer untuk desainer lain, atau menjadi ilham dan inspirasi untuk desainer lain.


Yohji Yamamoto
Sebelum menyelesaikan pendidikan fashion di Bunka College, Tokyo, pada tahun 1969, Yohji Yamamoto adalah seorang sarjana Hukum yang lulus dari Universitas Keio, Tokyo. Dan debutnya sebagai fashion desainer dimulai tahun 1977 dengan menggelar fashion show di Tokyo dan empat tahun kemudia di Paris. Yamamoto adalah satu dari “The Fashion Threesome”, yang juga terkenal dengan desainnya yang avant garde.
Awalnya Yamamoto membuat koleksi untuk wanita yang berbasis potongan pakaian pria, tapi tidak meninggalkan sisi feminin seorang wanita. Konsepnya adalah menyembunyikan dan melindungi lekuk tubuh wanita, yang membuat rancangannya selalu terlihat oversize dan struktural. Material yang digunakannya juga tidak biasa seperti bahan tirai yang tebal dan berterkstur. Rancangannya tidak mengikuti trend dan bukan juga trend setter, tapi berkarakter kuat. Yohji Yamamoto ahli dalam membuat stelan tailoring, baik untuk pria dan wanita, tapi dengan suntikan-suntikan volume, lapisan hingga permainan komposisi besar-kecil yang juga merupakan permainan volume.


Apa Yang Membuat Desainer Jepang Sukses Di Paris Tanpa Menjual Kultur?
Dari buku The Japanese Revolution in Paris karya Yuniya Kawamura, bahwa desainer Jepang menggunakan teknik jahit yang sangat kuno yang diaplikasikan pada rancangan, yang bahkan di Jepang sendiri tidak dianggap sebagai bagian dari fashion. Teknik jahit ini bisa bertahan ribuan tahun yang artinya ini adalah teknik jahit berkualitas yang terus menerus digunakan. Termasuk teknik pewarnaan tie-dye Jepang pada kain. Desainer Jepang sangat suka mengeksplor jenis kain, bereksperimen dengan berbagai material mentah yang kemudian diolah menjadi kain. Mereka tidak ingin menggunakan sesuatu yang sama oleh orang lain atau menggunakannya dua kali, yang mana ini adalah pengujian kreatifitas yang tidak pernah habis.
Mereka (desainer Jepang) juga menemukan konsep kecantikan yang baru, kecantikan anti mainstream yang tidak seperti dipikirkan oleh khalayak masyarakat umumnya. Yang akhirnya melahirkan konsep cutting edge dan estetika baru, seperti pakaian yang tidak dijahit pinggir dan pinggang wanita yang tidak harus seperti gitar Sepanyol. Dalam buku “20th Century of Fashion” karya Mendes, Valerie and de la Haye, Issey Miyake mengatakan, “Saya tidak menciptakan estetika yang fashionable, saya menciptakan gaya berdasarkan kehidupan”.
Desainer-desainer Jepang ini memiliki pengaruh yang begitu besar di industri fashion Paris, bahkan dunia. Mereka sama sekali tidak menjual budaya (Jepang) untuk menjadi komoditas dan keuntungan sendiri. Apa yang membuat mereka eksis? Karakter, kreatifitas, originalitas serta tidak berkompromi dengan kualitas. Kualitas adalah segalanya, yang menjadi tolak ukur dan penilaian, terhadap karya seseorang yang akhirnya mewakili negaranya. Dan apakah jawaban dari pertanyaan pada judul sudah terjawab?
Foto dok. Getty Images, Vogue.com, Kenzo, Met. Museum.