Kesempatan untuk mengunjungi Kolombo datang ketika saya mendapat undangan mengikuti sebuah workshop. Tempat workshopnya sendiri tidak tepat di tengah Kota Kolombo, tapi di sebuah resort dengan jarak 2 jam perjalanan dari Kolombo, dengan catatan, jika lalu lintas lancar. Jika macet, waktu tempuh akan mencapai dua kali lipatnya. Ya, Kolombo dan beberapa kota besar lain di Sri Lanka memang terkenal dengan kemacetannya. Saya berpikir, kok, mirip dengan Jakarta, ya.
Saya beberapa kali mendengar tentang Kolombo dari teman-teman yang pernah travelling ke sana, juga ada beberapa yang karena tugas, harus tinggal di sana. Terdengar menyenangkan, tapi belum menjadi tujuan wisata utama saya. Undangan workshop ini merupakan kesempatan untuk mengeksplorasi kota yang berada di tepi Laut Hindia ini. Buat yang akrab dengan cerita pewayangan, Sri Lanka ini diklaim sebagai negara asal Rahwana, Alengka. Ke negara inilah Rahwana menculik Sinta, yang menyebabkan Rama harus berjuang bertahun-tahun untuk menyelamatkan istrinya tersebut. Konon, di bawah laut ada susunan batu serupa jembatan yang dibangun para kera anak buah Hanoman, yang bertujuan untuk menghubungkan Alengka dan Ayodya. Apakah cerita wayang ini benar terjadi?
Eksplorasi soal Kolombo dimulai dengan menghubungi teman-teman yang pernah berkunjung dan saat itu sedang berdomisili di sana. Di internet memang bertebaran informasi tentang Kolombo. Saya sempat melihat sekilas beberapa ulasan tentang Kolombo, mencatat beberapa hal yang menarik, tapi saya lebih senang mendengar cerita dari teman-teman saya. Bisa saja sikap ini dianggap kuno, tapi mendengarkan cerita teman secara langsung, akan memberikan nilai tambah dengan keakraban dan juga cerita personal yang mungkin saja tidak ditemukan di internet. Belum lagi teman saya yang sedang tinggal di sana berjanji untuk mengenal Kolombo dari sudut pandang orang lokal. Saya membayangkan sebuah agenda keliling kota yang cukup padat, apalagi ternyata hanya punya satu hari berkeliling Kolombo.
Perjalanan Menyusuri Kota di Tepi Samudra Hindia
Sebenarnya Waduwwa, lokasi tempat saya workshop adalah sebuah lokasi resort yang menarik. Perjalanan dari Bandara Bandaranaike memang memakan waktu cukup lama, sekitar 1,5 – 2 jam. Saya sampai ketika hari menjelang malam, sehingga tidak bisa menikmati suasana pantai yang terkadang tampak dalam perjalanan. Tapi, kehidupan di malam hari ternyata juga cukup menari. Banyak orang yang berjualan makanan di pinggir jalan, kemacetan di tengah perjalanan menyebabkan saya bisa sesekali melihat gedung-gedung yang bercampur antara gedung kuno ala kolonial dan gedung modern. Vihara Buddha tampak cukup banyak terlihat di sepanjang jalan.
The Blue Water Hotel, yang menjadi tempat tinggal saya selama workshop, ternyata didesain oleh Geoffrey Bawa, seorang arsitek Sri Lanka yang pernah mendapatkan penghargaan Aga Khan untuk hasil karyanya Deshamanya. Ia jugalah yang merancang gedung parlemen Sri Lanka. Bangunan dengan banyak unsur alam seperti kayu dan pohon kelapa, serta ruang terbuka yang luas, membuat kita bisa menikmati Samudra Hindia yang terbentang di depan hotel. Berarti saya tidak usah melihat pantai ketika keliling Kolombo nanti, batin saya.
Workshop selesai, saya pun diantar menuju hotel yang berada di tengah kota Kolombo. Teman saya menyarankan untuk menginap di Hotel Hilton Kolombo, yang menjulang tinggi di tengah kota. Hilton terletak dekat dengan Galle Face yang merupakan wilayah pantai yang ramai didatangi turis, baik asing maupun lokal. Beach hopping, nih, pikir saya. Stasiun kereta api juga terletak dekat dengan hotel, yang memudahkan saya untuk mengunjunginya. Saya memang selalu suka sesuatu yang berkaitan dengan kereta api. Sayang, waktu wisata yang singkat membuat saya tidak dapat menjajal layanan kereta api Sri Lanka. Mungkin ini pertanda suatu hari nanti saya harus kembali ke Sri Lanka. Untuk saat ini, lebih baik untuk berkonsentrasi menikmati Kota Kolombo.
Keliling Kota dengan Tuk-tuk
Selesai dengan urusan check-in (well, sebetulnya saya belum bisa check-in. Saya hanya menitipkan koper saya di concierge), saya siap untuk berkeliling kota. Teman saya sudah menunggu dengan tuk-tuk yang sudah disewa seharian untuk mengajak kami berkeliling. Tuk-tuk itu, jika di Jakarta, serupa dengan bajaj, hanya lebih lega. Interiornya dihias meriah, lengkap dengan hiasan patung Buddha. Sehari-harinya tuk-tuk ini beroperasi memakai argo, seperti layaknya taksi di Indonesia. Tapi untuk disewa selama satu hari penuh, teman saya sudah melakukan tawar menawar harga.
Saya yang ingin melihat wujud kota Kolombo secara umum, sebelum mengunjungi berbagai tempat yang mungkin saja terlihat menarik. Akhirnya teman saya memutuskan untuk meminta sopir tuk-tuk mengeliling pusat kota. Orang-orang Sri Lanka cukup lancar berbahasa Inggris, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Dalam menit-menit pertama petualangan kami, saya melihat bahwa banyak bangunan yang bergaya Eropa, yang mungkin merupakan sisa-sisa penjajahan Inggris dan Belanda yang cukup panjang. Tidak jauh dari hotel ada Old Dutch Hospital, bangunan berbatu bata merah yang dulunya adalah rumah sakit Belanda. Merupakan bangunan tertua di Sri Lanka, dibangun pada tahun 1681, bangunan ini tadinya merupakan rumah sakit tempat merawat pelaut Belanda. Bangunan yang kini masih kokoh dan terawat ini dipakai sebagai tempat beberapa restoran dan pusat perbelanjaan papan atas.
Hari masih cukup pagi, sekitar pukul 10.00, tapi matahari sudah cukup menyengat. Sambil berjalan saya memperhatikan bahwa kendaraan berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi; terutama bus umum. Bus yang wujudnya seperti bus sekolah kuno ini memang selalu melaju kencang, tidak peduli di jalanan yang kecil maupun besar. Otomatis, orang-orang dan kendaraan di sekitarnya minggir jika tidak mau tersenggol. Tapi anehnya, biarpun bus-bus itu cukup tua, asap yang keluar tidaklah hitam pekat.
Ketika melalui daerah kedutaan dan residensial, jalanan tampak ditumbuhi pohon berjajar yang meneduhkan. Memasuki wilayah balaikota, ada sebuah taman besar di depannya. Terlihat baru direnovasi, taman ini tampak tertata rapi. Tampak meneyenangkan duduk-duduk di dalamnya, sambil menikmati pemandangan Gedung Parlemen Sri Lanka yang megah. Tapi karena hari semakin panas, tampaknya keinginan untuk mengaso di sini harus ditunda dulu. Ada cukup banyak taman yang tersebar di seputaran Kolombo, membuat para penduduk tidak kehabisan ruang publik untuk berkumpul di pagi atau sore hari.
Perhentian pertama adalah Independence Memorial Hall, sebuah bangunan megah yang terletak di tengah-tengah sebuah wilayah yang disebut Cinnamon Garden. Bangunan ini tampak seperti aula besar dengan pilar-pilar besar. Di pintu masuk terdapat patung besar perdana menteri pertama Sri Lanka, Sennayaka. Dialah yang menginginkan dibangun sebuah monumen megah yang memperingati kebebasan Sri Lanka dari Inggris pada 1948. Beberapa arsitek ternama Sri Lanka disewa jasanya untuk membuat monumen ini. Hawa sedang panas-panasnya ketika sampai di sana, sehingga hanya kami berdua dan beberapa turis lain. Menurut sopir tuk-tuk, memorial hall ini cukup populer sebagai tempat jogging di pagi/sore hari atau piknik bersama keluarga. Di sekelilingnya memang ada taman yang cukup luas, yang cukup enak untuk duduk-duduk di atas alas flanel sambil makan-minum ringan.
Berbaur Menikmati Budaya Lokal
Salah satu perbedaan di antara Sri Lanka dan India adalah karena mayoritas penduduk Sri Lanka beragama Buddha, diikuti dengan Kristen. Maka, tidak heran banyak terlihat kuil d Buddhai berbagai sisi kota. Beberapa cukup besar dan terkenal, seperti Kelaniya Raja Maha Vihara dan Gangramaya Temple. Gangramaya Temple sudah berumur 2000, terletak di tepi Danau Bera, dan konon Buddha pernah berkunjung ke sini. Untuk mencapai kuil, kita harus melewati sebuah jembatan kayu. Alas kaki harus dilepas, dan saya harus bisa menahan panas ketika berkeliling kuil. Tapi karena kuil ini tampak indah untuk dijelajahi, saya akhirnya cukup tahan berkekeliling tanpa alas kaki di cuaca yang lumayan terik.
Gangramaya memiliki tempat berdoa yang cukup luas dengan, keempat sisi-nya terbuka sehingga kita bisa melihat pemandangan danau. Selain kuil, di sini terdapat museum dan perpustakaan. Museum yang berada di belakang kompleks kuil memajang sejumlah patung Buddha dalam posisi bersila, diselingi oleh stupa, yang bentuknya sama persis dengan stupa di Candi Borobudur. Saya seperti melihat satu bagian kecil Borobudur di sini. Kuil ini selalu ramai, karena setelah berdoa, orang berlama-lama menikmati pemandangan Danau Bera di pinggir kuil. Memang menyenangkan berdiri di sini, melihat birunya air danau dengan latar belakang gedung-gedung menjulang tinggi di pusat kota Kolombo. Kalau saja tidak diingatkan kaki sudah protes karena kepanasan, maka saya betah berlama-lama di sini.
Tadinya kami hendak mengunjungi Kelaniya Raja Vihara. Tapi karena lokasinya agak jauh dari pusat kota Kolombo, dan saya masih ingin melihat-lihat pasar, akhirnya niat ini diurungkan. Nanti, saya pikir, ditabung untuk kunjungan berikutnya ke Sri Lanka. Melajulah kami ke Pettah Market, sebuah kompleks pasar yang terletak berdekatan dengan Balai Kota lama. Jika di Indonesia, Pettah ini serupa dengan pasar induk. Besar, ramai dan menjual segala macam barang. Harga akan lebih murah jika membeli dalam jumlah banyak. Begitu memasuki kompleks pasar yang terletak di sebuah bangunan peninggalan Belanda ini, kami langsung disambut dengan bau rempah dan bunga yang tajam. Saya langsung menuju tempat menjual berbagai rempah, baik kering maupun segar, dan memilih beberapa untuk dibawa pulang. Saya cukup suka memasak makanan India dan daerah sekitarnya, dan mendapatkan rempah untuk memasak langsung di negaranya akan membuat masakan menjadi lebih otentik.
Kegiatan selanjutnya adalah memotret aktivitas orang-orang di pasar. Selain kereta api, pasar adalah salah satu tujuan utama saya jika berkunjung ke satu negara. Ada hal yang menarik ketika melihat bagaimana orang-orang di pasar berkomunikasi, baik itu melakukan tawar menawar barang dagangan atau mengobrol tentang kehidupan. Bahasanya mungkin saja tidak saya pahami, tapi selalu senang menangkap ekspresi serta gerak tubuh orang ketika bercakap-cakap. Bahan-bahan dagangan yang beraneka warna juga merupakan objek foto yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Tambahan lagi, saya bisa mendapatkan camilan lokal di sini, yang biasanya dibawa sebagai oleh-oleh atau dimakan selama perjalanan.
Menyusuri Sudut Artsy dan Modern Kolombo
Sore harinya, setelah saya beserta teman membersihkan diri dan melepas lelah, kami melihat-lihat tempat makan serta tempat belanja di Old Ducth Hospital. Ada beberapa butik internasional di sini, juga beberapa brand alat minum teh keramik yang terkenal. Saya agak kaget ketika teman saya menyebutkan bahwa perangkat keramik tersebut buatan Sri Lanka. Sejak dulu, Sri Lanka memang terkenal dengan hasil tehnya, komoditas yang menyebabkan negara ini diincar oleh penjajah Eropa. Hingga saat ini, budaya minum the rupanya masih melekat kuat di beberapa kalangan di Sri Lanka. Di tempat ini pula saya menemukan sebuah butik teh, yang menjual berbagai jenis dan kualitas teh. Atas saran teman, saya membeli sebuah merek teh yang tidak terlalu terkenal tapi ternyata mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan merek yang sudah lebih dikenal secara internasional.
Kami menyurusi Galle Road untuk menuju tempat makan malam. Saya dijanjikan untuk melihat suatu tempat yang merupakan sudut artistik Kolombo. Barefoot, tempat tujuan kami adalah sebuah galeri yang menjual barang-barang kerajinan artisan khas Sri Lanka, toko buku, sekaligus memiliki sebuah kafe yang memiliki menu fussion antara Sri Lanka dan barat. Toko ini sungguh-sungguh mengerti cara memanfaatkan barang dagangannya untuk menghias ruangan menjadi semarak. Berbagai peralatan minum teh, kain-kain tradisional, serta perangkat dekoratif lainnya. Jika saya senang mendekorasi rumah, pasti akan kalap jika berkunjung ke sini.
Akhirnya kami menutup petualangan hari ini dengan menyantap Black Pork Curry, signature dish Barefoot, dengan ditemani segelas red wine. Sebuah hari yang menyenangkan wajib ditutup dengan baik, bukan?