Dalam aliran surialis, orang-orang (awam) hanya mengenal Salvador Dali. Seniman pelukin yang memiliki fantasi di luar nalar dan selalu melahirkan karya dengan berbagai interpretasi berbeda bagi siapa saja yang melihatnya. Tapi, ternyata Dali memiliki teman akrab yang juga satu aliran namun bergerak di industri fashion, Elsa Schiaparelli. Desainer kelahiran Italia yang namanya besar di Paris dengan karyanya yang begitu berkarakter dan kaya akan filsafat surealisme.
Saya yang sedang berada di Paris, saat menulis tulisan ini, sangat beruntung bisa menyaksikan eksebisi “Shocking! The Surreal World of Elsa Schiaparelli”, di hari pertama eksebisi ini dibuka pada tanggal 6 Juli kemarin di Musée des Arts Decoratifs. Pada eksebisi ini, kedekatan Elsa Schiaparelli dengan Salvador Dali sebagai “bff” terdeskripsikan dengan jelas. Bagaimana mereka saling menginspirasi dalam membuat karya serta fantasi-fantasi tak terbendung yang menggila dalam menciptakan karya. Keduanya memiliki perspektif yang berbeda tentang surialisme, sehingga ini juga yang membuat keduanya bisa mewujudkan karya yang terlihat tidak copy-paste.
Eksebisi ini terdiri dari dua lantai, yang di ruangan pertama, mata langsung menghantam punggung manekin yang memakai cape rancangan Elsa Schiaparelli berwarna pink, dengan embellishment emas di bagian punggung yang berbentuk matahari dengan wajah lengkap dengan mata dan mulut. Bagian bawah manekin memakai rok panjang hingga lantai berwarna kuning terang. Kemudian lantai dan dinding ditutup dengan wall paper bergambarkan berbagai sketsa rancangan Elsa Schiaparelli. Pada dinding, tertempel akuarium yang terisi dengan menekin tangan yang memakai sarung tangan dalam berbagai bentuk volume, desain dan warna. Elsa sangat terobsesi dengan bentuk tangan. Sarung-sarung tangan ini dibuat dalam berbagai ukuran, kecil hingga besar, pendek dan panjang, bahkan sampai yang berukuran sepanjang lengan hingga ke bahu. Ruangan selanjutnya merupakan ruangan sejarah Elsa menjadi desainer, kepada siapa Ia berguru dan siapa saja teman inner circle-nya. Di sini juga dipamerkan beberapa koleksi Paul Poiret, yang merupakan mentor Elsa Schiaparelli dalam membuat rancangan pakaian. Maka pada beberapa koleksi Elsa, akan terlihat dengan kental pengaruh Art Deco pada rancangannya yang bersiluet flapper.
Bukan hanya koleksi Paul Poret saja yang dipamerkan di sini. Tapi juga koleksi lukisan Salvador Dali, juga deskripsi kedekatan Schiaparelli dengan Dali, kemudian pertemanannya dengan Cecil Beaton, seorang fotografer yang dianggap Schiaparelli paling mahir menangkap hasil rancangannya. Kemudian juga ada beberapa koleksi desainer lain yang terinsipirasi dari karya Schiaparelli, John Galliano, yang pernah membuat koleksi dengan motif koran, yang awalnya sudah dibuat oleh Schiaparelli sebelumnya. Kemudian di galeri lantai dua, adalah galeri yang diisi dengan koleksi Schiaparelli karya Daniel Roseberry, yang mewakili jenama ini di era modern sekarang. Siluet-siluet kontemporer karya Roseberry yang secara harafiah mampu menerjemahkan keinginan dan fantasi surelais Schiparelli hadir dengan kuat dan membius. Membuat yang melihatnya bergumam, “bagaimana ya ini mendapatkan ide membuat ini?”.
Rancangan Schiaparelli yang berada pada eksebisi ini berjumlah sebanyak 520 buah, dalam berbagai bentuk termasuk 272 siluet dan akseseoris yang dibuat olehnya. Semua ini dikumpulkan dari berbagai museum di seluruh dunia termasuk yang berada di Musée des Arts Decoratifs. Semua dipajang berdampingan dengan lukisan, patung, fotografi, perhiasan, poster dan keramik serta semua foto-foto inner circle Schiaparelli seperti Man Ray, Salvador Dali, Jean Cocteau, Meret Oppenheim dan Elsa Triolet. Dan pesan moral yang bisa saya simpulkan disini adalah, bahwa, karakter (diri) kita akan terbentuk dengan siapa kita berteman. Hanya dalam waktu dua puluh lima tahun, Elsa Schiaparelli mampu mengubah fashion menjadi elemen alami dari avant-garde, tempat Ia bermain-main bagai playground-nya, dimana Ia menciptakan kembali interaksi antara wanita dan femininitas, daya pikat wanita dan jiwa, yang masih tetap relevan hingga saat ini.
Foto Ion Akhmad