Solo boleh berbangga, karena kini memiliki museum seni yang cukup bergengsi. Jika museum MACAN di Jakarta berhasil menyihir para millennials menyukai karya seni, museum Tumurun yang baru berdiri di kota Solo ini juga bakal menjadi salah satu destinasi yang diminati generasi masa kini. Kemunculan Tumurun Private Museum menambah deretan museum seni di Indonesia, sambil ikut membangkitkan minat masyarakat terhadap seni di era modernisasi ini.
Museum ini menjadi perbincangan banyak pecinta seni tanah air ketika pertama kali diperkenalkan pada awal April 2018 lalu. Museum privat milik keluarga HM Luminto, pendiri PT. Sri Rejeki Isman (Sritex), raksasa bisnis tekstil terbesar di Asia Tenggara, ini terletak di Jalan Kebangkitan Nasional, dekat dengan Taman Sriwedari, Solo. Dari luar, sekilas tidak tampak bangunan yang menunjukkan bahwa tempat ini adalah sebuah museum. Tidak ada plang atau tulisan sama sekali. Bahkan Anda tidak akan menemukannya di Google Maps.
Foto: Iwan Kurniawan Lukminto (Wawan), salah seorang penggagas berdirinya museum Tumurun oleh Keluarga Lukminto.
Masih Bersifat Privat
Tentu saja karena masih merupakan private museum, tempat ini tidak dibuka secara bebas untuk publik. Museum Tumurun didirikan untuk memajang berbagai koleksi benda seni yang dimiliki oleh Alm. H.M. Lukminto beserta keluarga. Tak heran bila museum ini masih dikela secara sederhana oleh keluarga besar Lukminto.
Luxina yang mendapat undangan untuk berkunjung ke museum Tumurun setelah melakukan upacara bendera bersama karyawan group Sritex, berkesempatan untuk mengintip berbagai koleksi benda seni yang luar biasa di museum ini.
Tumurun tampak menyerupai galeri seni bergaya modern, yang terdiri dari dua lantai seluas 1.800 meter persegi. Museum ini memiliki langit-langit yang tinggi untuk memberikan kesan lega dan jauh dari kesan kuno. Memasuki museum ini, perhatian Anda akan langsung tertuju pada instalasi seni besar yang berbentuk susunan bola mata raksasa. Instalasi bertajuk Changing Perspectives karya perupa muda asal Jogjakarta, Wedhar Riyadi, ini tampak megah berdiri di tengah ruangan. Instalasi ini pernah dipamerkan pada gelaran Art Jog di Jogja National Museum tahun lalu. Karena bentuknya yang unik dan besar, serta terletak di tengah-tengah ruangan, karya Wedhar ini bisa dibilang menjadi ikon museum Tumurun.
Karya Anak Bangsa
Iwan Kurniawan Lukminto, salah seorang putra Alm. H.M. Lukminto dan pemilik dari PT. Sri Rejeki Tekstil, merupakan penggagas didirikannya museum ini. Pria yang akrab dipanggil Wawan ini mengatakan bahwa sang ayah merupakan seorang kolektor karya seni. Begitu banyak karya perupa ternama yang telah dikumpulkan oleh Alm. H.M. Lukminto. Hobi sang ayah pun akhirnya menular ke Wawan Lukminto, yang berinisiatif memamerkan koleksi keluarga dalam sebuah museum. Dari sinilah nama Tumurun berasal. “Tumurun memiliki makna mewariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,” kata Wawan Lukminto. Museum ini juga menjadi salah satu dedikasi keluarga besar Lukminto di bidang kesenian bagi Indonesia.
Koleksi benda seni, yang sebagian besar merupakan lukisan ini, merupakan hasil karya anak bangsa. Menurut Wawan Lukminto, walau Indonesia memiliki kekayaan karya seni yang luar biasa, namun minat masyarakat Indonesia terhadap karya seni masing kurang. Karena itulah, diharapkan melalui museum Tumurun, masyarakat Indonesia, khususnya warga Solo, dapat makin menyukai karya seni.
Kurang lebih terdapat 100 koleksi seni karya old master dan kontemporer di museum ini. Sebagian besar karya old master terletak di lantai dua, sementara di lantai satu di dominasi oleh seni kontemporer. Para perupa ternama yang koleksinya dipajang di museum Tumurun di antaranya: Mochtar Apin, Antonio Blanco, Ahmad Sadali, Affandi, Emil Rizek, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Basoeki Abndullah, Raden Saleh, Heri Dono, Eko Nugroho, Eddy Susanto, hingga Eddie Hara.
Selain selain koleksi seni perupa Indonesia, Tumurun Private Museum juga memiliki beberapa koleksi mobil antik milik keluarga Lukminto yang masih terawatt dengan baik.