Sejauh mata memandang alam seni rupa, tampaknya geliat seni cetak masih samar, redam dalam riak emosi seni lukis cat air, akrilik, atau minyak, di atas kanvas. Kesamaran ini, apakah karena minimnya produksi karya-karya seni cetak, atau karena terbatasnya emosi yang bisa diletupkan via seni cetak, atau sedikit saja galeri-galeri di Indonesia yang membuka ruang untuk dipamerkannya karya seni cetak? Jawabannya, juga masih samar. Namun dalam pekan ini, cobalah berkunjung ke Artsphere Gallery di Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan. Galeri ini sedang mengangkat sejumlah karya seni cetak, dan mengharapkan agar masyarakat memberi ruang perhatian terhadap hal ini. Pameran dilakukan Artsphere Gallery dengan DEVFTO dan Project Eleven, berjudul “Contemporary Art & Printmaking: Indonesian Artists’ Print Portfolio”, melibatkan 9 orang seniman Indonesia lintas generasi. Pameran ini dibuka sejak tanggal 25 Mei 2024 dan akan berlangsung hingga 15 Juni 2024.
Mencetak malam keemasan
Projek ini yang telah direncanakan sejak tahun 2021, merupakan satu kolaborasi antara DEVFTO Printmaking Institute di Ubud, Bali dengan Agus Suwage, Devy Ferdianto, FX Harsono, Handiwirman, Ida Bagus Putu Purwa, Kemalezedine, Theresia A. Sitompul, Tisna Sanjaya, dan Valasara, yang didukung oleh Mr. Konfir Kabo (Project Eleven Foundation), Mr. John Cruthers (16Albermarle Project Space) dan Lanö Art Project. Sembilan seniman kontemporer ini mempersembahkan karya-karya seni cetak grafis menggunakan teknik cetak intaglio, litografi, etsa, dan screen print. Karya dari Valasara yang berjudul ‘Garden of Utopia’, terlihat sangat elegan dan glory, ia menggambarkan suasana upacara Ngaben di Bali pada tengah malam, terbias cahaya keemasan minim (sepertinya cahaya obor), orang-orang membopong Bade dengan arsitektur yang tinggi menjulang, sapi-sapi dengan hiasan bahu seperti sayap dan ditunggangi monyet, detail-detail yang teliti ada di gelombang kain-kain yang dipakai pembopong Bade, rimbun dedaunan, dan sisi badan Bade.
Legenda seni cetak
Karya berjudul ‘Immaterail’ dari Agus Suwage, layak dipelototi detailnya, menggambarkan seorang lelaki senior yang sedang melotot tanpa bola mata. Tarikan garis-garis vertikal di seluruh wajah (dan bahkan lebih, melewati realitas siluet kepala) dan tarik motif garis-garis pada kemeja menyerupai sidik jari, adalah unsur kenikmatan memandangi seni cetak. Permainan shadow and light berbanding seimbang, mendarat pada permukaan-permukaan yang tepat, khas Agus Suwage. Karya Devy Ferdianto, berjudul ‘I Am A Legend’, diproses dengan screen print, objeknya seperti sosok musisi RnB, diformat seperti visual kartu King, sangat rapi dan pop art. Devy mengatakan bahwa; “Banyak yang menyebutkan proses ini dengan Seni Grafis, namun sebaiknya kita menyebutkannya dengan Seni Cetak saja.”
Potensi dalam konteks seni rupa kontemporer
Kurator pameran, Asmudjo J. Irianto, menegaskan bahwa publikasi portfolio sembilan seniman ini dimaksudkan untuk melihat kembali potensi, kedudukan, dan permasalahan seni grafis dalam konteks seni rupa kontemporer, khususnya seni rupa kontemporer Indonesia. Pandangan yang dikemukakan juga mengacu pada fakta bahwa sebagian besar seniman yang termasuk dalam portofolio ini pada dasarnya bukan pegiat seni grafis. Dari grup ini, Devy Ferdianto adalah seniman yang fokus utamanya adalah seni grafis dan master printer yang berkolaborasi dengan delapan seniman lainnya dalam portofolio ini. Selain Devy, Tisna dan Theresia juga dikenal sebagai pegrafis, dengan latar belakang pendidikan dalam seni cetak grafis. Namun, Tisna dan Theresia juga berkarya dengan medium lain seperti karya tiga dimensi dan instalasi. Kemalezedine dan Gus Purwa lebih dikenal sebagai pelukis, dan seniman yang lain berkarya dengan berbagai medium, yang juga memproduksi lukisan.
Kurasi Asmudjo J. Irianto
“Dalam konteks seni rupa kontemporer yang menerima segala bentuk karya seni, Printmaking atau seni cetak grafis menjadi medium yang jarang dijadikan sebagai medium utama kekaryaan para seniman kontemporer. Dalam banyak kasus, Pegrafis Indonesia berbicara mengenai posisi seni grafis yang seakan menjadi subordinat atau bayang bayang bagi karya seni lukis. Partisipasi para seniman dalam menciptakan portofolio ini menjadi bukti pentingnya seni grafis. Secara positif, ini menyoroti bagaimana seniman dari luar dunia seni grafis memandang kemungkinan estetika, lebih dari sekedar mempromosikan popularitasnya,” Asmudjo J. Irianto.