Sesosok figur wanita belia berdiri syahdu di dalam lukisan setinggi dua meter, badannya ramping lengkung cantik, lehernya jenjang, wajahnya terlihat asyik sedang menikmati diri, rias wajahnya modern oriental, dengan concealer memutih di seputar mata, blush on ranum di depan wajah, dan bibir matte kemerahan. Detail ini masih tenang dan darling, belum ke arah hentakan visual yang sebenarnya, yang mencengangkan, berupa rambut dan hiasan kepala yang monumental, sangat tinggi melebihi segalanya. Karya ini sangat grandeur, elegan, judulnya: “Lost Yearn Slipped” (100 x 200 cm), dibuat oleh seniman Tusita Mangalani. Wajah, badan, dan kanvas disapu dengan cat akrilik. Lalu rambut dan ornamentasi di atas kepala, dibesut dari benang, serabut benang, dan manik-manik. Bagian ini sangat fantastis, diatur berjuntaian ikut arah gravitasi, dengan letak ornamentasi liar dan menjadi 3D. Ornamentasi menetes yang lebih dramatis lagi di karya “Bad Blaze Chaos” (100 x 200 cm), kedua telapak tangan si figur wanita menampung tetesan rambutnya sendiri yang mencair jadi darah yang gemerlap.
Drama embroidery
Apa latar belakang Tusita Mangalani sampai karya-karya awalnya untuk publik ini begitu drama? “Dari kecil aku memang suka menggambar. Aku terbiasa melihat ada dua orang suka menggambar; Mamah guru menggambar, Papah suka menggambar. Pas kuliah aku masuk Kriya Tekstil di Bandung. Di kampus aku malah senang pas memperdalam pelajaran embroidery,” cerita Tusita mengenang masa kuliah. Sembari melukis, ia begitu menikmati dan terus menggeluti mata kuliah tekstil. Sampai pada satu kali ia berpikir untuk mengkombinasikan pelajaran tekstil dan kesenangannya melukis. “Dari ketidak sengajaan, dulu suka eksplor-eksplor, suka craft juga, suka ngelukis juga, pas aku bikin karya, ada sisi bermain yang muncul, kayaknya iseng pengen pakai tekstur yang ini, coba tekstur yang itu, eh ternyata lucu ya, lama kelamaan ternyata pas aku combine bisa nyatu juga. Sekarang aku seriusin. Lalu, karena mau jadi seniman aku ikut program inkubasi sama Kak Atre,” ujar Tusita lagi tentang bagaimana jiwa kesenimannya tak bisa ia diamkan begitu saja.
Nothing but my heartbeat, dari bahasa jemari
Karya-karya Tusita yang diberi judul “CHARLOTTE CHAOS” ini mengingatkan pada masa-masa Art Nouveau (1890 -1910), masa ketika seni ornamental begitu trending, saat visual ‘woman in art nouveau’ begitu berjaya mengihiasi interior, perhiasan, glass design, dan poster-poster. Bedanya figur-figur karya Tusita bersosok oriental, kemudian ornamen yang dibangun bukanlah hasil sapuan kuas, tetapi langsung dijahit di atas kanvas, dengan teknik jahit sulam bagai kinerja couturier di industri fashion. Coba lihat karya berjudul: “Nothing But My Heartbeat” (80 x 80 cm), bergaya Belle Epoque dan sosok si figur habis tertutup ornamentasi bagai gaun haute couture, wajahnya oriental, penggambaran anatomi jemarinya sempurna dengan gerakan ‘feeling guilty’. Tidak semua ornamentasi diatur mengalir ke bawah, pada karya berjudul “Blooming Tiara” (100 x 50 cm), Tusita membalikkan kenyataan, kali ini rambatan ornamentasi naik ke atas, sebuah kesadaran holistic dalam berkarya.
Mejahit imajinasi di atas kanvas
Semua ornamentasi tidak menggunakan lem perekat karena Tusita tidak yakin akan ketahanannya, ia tidak tahu apa jadinya lem tersebut setelah 10 tahun ke depan. Makanya ia lebih memilih jarum dan benang. “Kalau dijahit aku merasa lebih secure. Ini aku jahit semua, termasuk yang manik-manik, benang-benang juga. Langkah pertama aku sulam dulu di kain yang terpisah, baru kainnya aku jahit ke kanvas. Kalau elemen yang kecil-kecil, langsung aku jahit ke kanvasnya, dijahit satu satu.” Cerita yang cukup mencengangkan bagi seniman yang selama ini hanya bermain dengan kuas. Apalagi membayangkan Tusita duduk berjam-jam menyulami kanvas menggunakan jarum dengan tangannya yang kecil. Tusita membutuhkan 3 minggu untuk menyelesaikan satu karya.
Charlotte Chaos sebagai titik awal
Karya-karya yang dipamerkan ini hasil kurasi Atreyu Moniaga yang menjadi mentor Tusita dalam berkarya. “Di project ini, aku dikasih challenge buat sketsa banyak banget, aku bikin 50 sketsa. Dari situ dikurasi sama beliau, kemudian aku kembangi lagi. Makanya komposisinya jadi kayak gini,” ujar Tusita menceritakan komposisi-komposisi karyanya yang terlihat tegas dan sangat meyakinkan. “Charlotte Chaos adalah titik awalku. Kedepannya aku pengen coba medium lain, masih banyak yg mau aku eksplor supaya karya ku makin berkembang. Aku berharap setelah koleksi ini aku pengen orang makin kenal aku sebagai Tusita.
Tusita dan Atreyu Moniaga Project’s Mixed Feelings
Koleksi lukisan CHARLOTTE CHAOS adalah pameran bersama Tusita Mangalani yang ditampilkan bertiga dengan dua seniman Generasi Z lain yaitu Zita Nuella dan Clasutta, dalam pameran bersama berjudul ‘AD MAIORA, dipetik dari frasa Latin, ‘Ad Maiora Natus Sum’ yang berarti “kita dilahirkan untuk mencapai hal-hal yang lebih besar”. Pameran ini mengeksplorasi beragam sudut pandang masing-masing seniman dalam upaya mereka menerobos medan seni rupa serta cita-cita yang diampu bersama untuk menciptakan karya yang berdampak. Dirancang sebagai tiga ragam rangkaian seri lukisan, Ad Maiora mengantarkan kita masuk ke dalam benak setiap seniman. Lebih dari itu, kegiatan ini adalah penghujung perjalanan mereka bertiga yang dalam satu tahun terakhir menempuh program inkubasi seniman AMP – Atreyu Moniaga Project’s Mixed Feelings yang ketujuh. Proyek ini juga menandai satu dekade AMP sebagai sebuah inisiatif independen dengan misi untuk mendukung seniman muda memasuki dunia seni dan kreatif di Jakarta. Pada akhirnya, Ad Maiora adalah perayaan akan harapan dan kesadaran tentang tujuan besar sekaligus bentuk penghormatan pada sebuah awal yang sederhana. Untuk segala cita-cita besar yang kita impikan, mari kita wujudkan satu demi satu, dari sekarang.