Sadarkah kita jika ruang dan waktu merekam, tapi tidak selalu dengan cara yang kita pahami. Ruang menyimpan jejak kita – bekas duduk di kursi, pantulan samar di cermin, atau lampu yang tetap menyala setelah kita pergi. Semua itu bukan sekadar benda mati, tapi arsip diam dari kehadiran yang pernah terjadi. Lalu “waktu”, ia mengarsipkan dengan cara yang lebih kejam: membiarkan kita lupa, sambil tetap menyimpan fragmen rasa di lapisan bawah sadar. Kadang, kita masuk ke sebuah ruangan dan merasa ada yang ganjil – bukan karena ada yang berubah, tapi karena ada sesuatu yang akrab yang pernah tinggal di sana.

Objek pergi, ruang tetap mengingat
Hal inilah yang dipentaskan oleh seniman muda Amran Rizky, yang saat ini masih berkuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia memaparkan memori rekam waktunya di atas kanvas, dalam pameran tunggal bertajuk “Somewhere, Someone, and the Silence After”, di Sewu Satu Gallery, Jakarta. 12 April – 11 Mei 2025. Ia menyusun fragmen kehadiran yang samar dalam lansekap keterasingan manusia modern. Sebuah kursi kosong, pantulan yang kabur, lampu menyala di kamar tak berpenghuni – semuanya bukan sekadar simbol, melainkan residu emosi yang tertinggal oleh ketidak hadiran. Di kuas Rizky, kekosongan tersebut, adalah medium yang berbicara untuk bernostalgia.

Ini bukan narasi, melainkan gema
Ia merekam terputusnya jiwa dalam hidup sehari-hari, dikaburkan oleh teknologi dan kemudahan. Refleksi yang terdistorsi, benda-benda yang menua diam-diam, hingga jeda sunyi di antara interaksi – semuanya menjelma menjadi catatan visual tentang keterasingan yang tak disadari. Pameran ini mengajak kita berhenti sejenak, membiarkan keheningan mengendap, dan merasakan apa yang biasanya luput dan biarkan berlalu tanpa kesan, dan akhirnya menjadi rasa hampa yang malah tak terlupakan.

Amran Rizky dan Sunyi
Yang uniknya, visualisasi Amran mengingatkan pada foto-foto jadul di Hong Kong tahun 1980an, padahal ia sendiri lahir tahun 2001 (di Surabaya). Di dalam keheningan dan senyap, terdapat garis-garis ketegasan.
LUXINA: Darimana sumber visual-visual Amran?
AMRAN: Kebanyakan dari pengalaman sehari-hari, kontemplasi terhadap yang absen dan yang hadir, kebanyakan dari foto yang aku abadikan sendiri.
LUXINA: Tapi suasananya cukup jadul. Foto lama atau?
AMRAN: Aku berusaha sebisa mungkin, dari foto yang aku abadikan itu aku kreasikan lagi. Kesan jadul itu aku memang pengen sebagai kesan yg dramatis, aku berusaha membuat karyaku jadi melankolis, yang bisa berbicara akan suasana itu sendiri.
LUXINA: Kamu juga tegas akan prespektif, semua lukisan ada prespektifnya, walau pun kamu buat miring-miring, aku mendapatkan ketegasan kamu.
AMRAN: Itu bagian dari craftmanship juga sih. Tempat memposisikan figur dan objek di lukisanku, penempatan objekku di dalam prespektif bisa memperlihatkan keheningan, tempat figur kecil di tengah lansekap yang luas. Sehingga kesan alienasi tergambarkan.
LUXINA: And lonely?
AMRAN: Yes.

Phenomenology dan Memory of Place
Dalam filsafat fenomenologi, terutama lewat gagasan Maurice Merleau-Ponty dan Gaston Bachelard (The Poetics of Space), ruang dianggap bukan hanya wadah fisik, tapi juga tempat di mana pengalaman dan ingatan melekat. Konsep seperti topophilia (kecintaan terhadap tempat) dan place attachment menunjukkan bagaimana ruang bisa menjadi pemicu memori emosional. Kita menyimpan kenangan dalam ruang tertentu, dan ruang itu bisa memanggil kembali emosi yang kita pikir sudah lenyap. Di sinilah Amran Rizky bermain.

