Ingatkah di masa lalu, sampai akhir 90an, ada banyak rumah-rumah yang memajang lukisan sawah dengan padi menguning siap panen, berlatar belakang pegunungan, sinar matahari yang mengecup padi jadi keemasan. Waktu itu lukisan padi siap panen, sawah, dan ladang bukanlah gambaran-gambaran cemen, ia adalah gambaran harta kekayaan, gambaran rejeki melimpah. Sawah dan ladang adalah harta bagi old money, atau setidaknya pejabat-pejabat di pemerintahan sampai tigkat kepala desa. Sawah siap panen adalah gambaran yang mentereng, tapi juga berkandungan positive vibes, optimisme, dan simbol harta yang bertumbuh. Harta-harta klasik ini semakin bergeser bersama kemajuan jaman dan hadirnya fotografi, gambar lukisan di ruang tamu bergeser menjadi suasana travel, dari gambaran Ka’bah di Mekkah, ladang tulip Keukenhof di Amsterdam, hingga rumah-rumah trasidional di Jepang. Semakin kemari, semakin lukisan sawah dan ladang jadi menjauh, kuno, dan terlupakan.
Strategi yang menyemarakkan sawah ladang
Namun di sinilah Aldridge Tjiptarahardja, seorang Gallery Director, merekahkan ide cemerlangnya untuk menarik kembali genre lukisan panen tersebut masuk ke dalam arena art market kini. Sebuah usaha yang berlevel ‘director’, mengingat saat ini memang masih banyak pelukis-pelukis anonim yang memproduksi lukisan panen sawah dan ladang, sehingga usaha memancing kembali minat publik terhadap genre ini bisa sedikit banyak melebarkan kembali rejeki para pelukisnya. Tapi bagaimana strategi Aldridge? “Saya lihat kalau di rumah ada lukisan panen, kebanyakan respon orang datang dan lihat, selaluakan berkomentar ‘ini lukisannya bapakmu ya?’. Enggak pernah bilang, ‘ini lukisanmu ya?’. Kemudian sudah jarang orang memiliki lukisan panen, karena kesannya ‘nuek’i’ (membuat tampak tua). Dengan banyaknya seniman muda, saya coba ajak, ayo coba gambar panen yang kontemporer yang kekinian dengan pemikiranmu sendiri. Akhirnya keluarlah beberapa lukisan ini, fresh. Tetapi ada beberapa juga karya-karya yang kita pilih dari seniman yang senior, seperti Toto Sunu, dan Rudy Mardijanto,” kata Aldridge di hari pembukaan pameran berjudul “NEO-PANEN RAYA – Classical Rice Field Paintings of Contemporary Artist” di Unicorn Gallery, Jakarta.
Nafas kontemporer untuk hamparan panen raya
Dari pemikiran Aldridge ini, lahir sehamparan sawah terasering apik, dengan gunung indah berlatar awan-awan semburan warna pastel yang tak akan pernah ada di dalam lukisan panen klasik. Penjaga sawahnya bukan orang-orang sawah, tetapi Astro Boy dan Kaikai Kiki, so much fun, sawah secara imajinatif jadi seru untuk tersenyum bersama anak-anak Skena. Lukisan ini karya Arya Sudrajat, berjudul ‘Not Beubeugig’ #series 1 (dimensi 144 x 88 cm), cat akrilik di atas kanvas. “Beubeugig, bahasa Sunda yang berarti ‘penjaga’,” ujar Arya yang datang dari kabupaten Bandung dan mengatakan bahwa orang-orang dikampungnya umumnya membuat lukisan panen dan sawah. Lukisan “House yard” (198 x 228 cm) akrilik di atas kanvas, karya Arbi Rangkito, dibuat dengan tamparan kuas bergaya abstract expressionism, gambaran sawah, gunung, dan langit, tampak sangat bertenaga, menularkan semangat dan jiwa muda. “Dalam Neo-Panen Raya, seniman menghirupkan napas baru ke dalam genre klasik ini. Karya-karya ini harus mencerminkan sifat dinamis dan berkembang dari seni indonesia. Setidaknya, untuk generasi muda, interpretasi dan gaya kontemporer ini memastikan bahwa lukisan sawah ini jauh dari menjadi karya seni lama yang dikoleksi oleh orang tua mereka.” Ujar Aldridge di kata pengantar. Pameran ini berlangsung tanggal 20 Juli hingga 18 Agustus 2024, di Unicorn Gallery, di lantai 4 Wisma Geha, Jalan Timor no. 25, Menteng, Jakarta Pusat.