Pernahkah kalian melihat gumpalan salju, atau genangan air, atau kerumunan awan, atau rerimbunan hutan, yang siluetnya mengingatkan pada sesuatu? Misalnya, seperti siluet orang duduk termenung, siluet wajah berjanggut, siluet orang tertawa, siluet fauna melompat, dan lain-lain. Sebagian orang menganggap hal ini semacam semesta sedang mengajak berkomunikasi, semesta sedang menarik perhatian kita. Umumnya kita mengabaikan saja, atau ada juga yang minimal hanya memberi respon tersenyum. Namun tidak bagi seniman Yahya Rifandaru, anggota dari Superlative Secret Society, yang sedang mengikuti pameran Artgorithm: Art in Chain, di Galeri Zen1, di Menteng Jakarta. Yahya memberi respon nyata akan hal-hal abstrak yang ia lihat tersebut, ia membubuhkan visual kehidupan, menuangkan dilema, dan menyisipkan misteri. Interaksi antara Yahya dan apa yang ia lihat di alam tersebut menjadi landasan proses kreatifnya di atas kanvas.
Satu kata dilematis sebagai ungkapan negatif dan positif
Untuk mencapai gambaran abstraksi alam seperti yang kita bahas di atas, Yahya menuang-nuangkan cat akrilik ke atas kanvas, sehingga muncul bentuk-bentuk tak terduga yang kemudian ia dekor dengan gambaran mata, hidung hewan, mulut, lidah, gigi, dan seringai. Sebagian sosok yang muncul adalah kepala anjing dengan berbagai mimik. Pada ruang di luar genangan akrilik, ia isi dengan gambar dari siluet hand shadow puppet, yang membentuk (lagi-lagi) kepala anjing, gelap misterius. Kenapa kepala anjing? Bagi Yahya, kepala anjing, atau ia sebut dengan ‘Ndasasu’, menggambarkan permulaan perjalanan menuju ungkapan pemikiran, perasaan, dan tindakan yang bijaksana. Sebagai bukti, ‘anjing’ adalah satu-satunya kata ungkapan yang berkekuatan seimbang, baik itu positif atau negatif, dalam ekspresi pergaulan orang Indonesia. Banyak orang menyebut ‘anjing’ ketika mengungkapkan sesuatu yang tak terduga baik atau buruk. Misalnya: “Bagus banget, anjing!”, atau “Enggak ada otak lu ya, anjing!” Ketajaman maknanya menyesuaikan dengan tekanan suara. Di kalangan yang lebih santun, kata ‘anjing’ agak bergeser, lafalnya lebih mencerminkan nilai emosional yang melembut, yaitu; anjay, anjrit, anying, dan anjir.
Alexander the Great bermain dengan Diogenes
Tapi apakah lukisan-lukisan Yahya hanyalah tentang bertemunya abstraksi alam dan kepala anjing? Hm, ternyata ada hal yang lebih dalam dari pada itu. Seperti lukisannya yang berjudul Playing with DiOGenes dimensi 100 x 100 cm. Di karya ini terdapat lebih dari 10 figur wajah dengan berbagai ekspresi, berhimpitan seperti di pasar, wajah-wajah yang kita harap bisa kita percaya. Ini terkait dengan sosok Diogenes, seorang filsuf yang sangat sinis, sampai ia dijuluki sebagai Filsuf Sinisme. Diogenes kerap berjalan membawa lentera di siang bolong sambil menatap orang-orang yang ia temukan di pasar di Athena. Ia sedang mencari wajah-wajah kejujuran yang susah didapat bahkan di siang bolong. Diogenes memang tinggal di pasar, ia meninggalkan kemewahan karena dianggap tidak ada kejujuran di sana. Ia memilih miskin dan tinggal di gentong tembikar demi hidup jujur, ia membuat kemiskinan sebagai format bertahan hidup. Banyak seniman-seniman klasik telah menggambarkan sosok Diogenes dan hunian gentongnya ke dalam lukisan impresionis, termasuk ketika Alexander the Great mengunjunginya dan mengaguminya. Alexander bilang: “Jika saya bukan Alexander, saya ingin menjadi Diogenes.” Diogenes membalas, “Jika saya bukan Diogenes, saya ingin menjadi Diogenes.” Sinis alamiah. Jika para seniman menampilkan sosok Diogenes utuh di kanvas mereka, Yahya memilih melukis wajah orang-orang yang mungkin kita hadapi setiap hari, jenaka tetapi mungkin susah untuk bisa dipercaya.
Sebenarnya kita bisa menikmati lenturnya liuk jeram visualisasi Yahya, tanpa perlu menggali semua informasi dan cerita yang terkandung di dalamnya. Pulasan kuas Yahya bisa membawa rasa santai dan tersenyum, karena hampir tidak ada detail sudut tajam yang menghunus, layaknya ketika menikmati kepulan awan dan genangan air. Sesekali ada hiasan drama dari gumpalan akrilik yang menetes tertarik grafitasi sehingga cat akrilik bagai menangis. Yahya Rifandaru lahir di Kudus, 25 November 1981. Tahun 2005 ia lulus dari Institut Teknologi Surabaya jurusan Desain Komunikasi Visual. Sembari kuliah ia bekerja sebagai illustrator di harian Jawa Pos. Selesai kuliah, menjajal ilmu DKV di Leo Burnett, Brand Inc, dan Forward Indonesia. Saat ini Yahya memberikan waktu sepenuhnya untuk berkarya, menjadi seniman di dalam Superlative Secret Society.