Kolaborasi-kolaborasi untuk menciptakan karya fashion selalu menghasilkan sesuau yang selalu dikenang, apalagi jika kolaborasi tersebut bukan saja lintas disiplin, tetapi juga bermisi untuk mengentaskan sesuatu yang menjelang sirna, sesuatu yang terlalu sayang untuk dilupakan. Seperti kolaborasi yang dilakukanoleh WIlsen Willim dan Chandra Satria (seorang kolektor wastra dan penyanyi) untuk mengangkat karya wastra dari seorang maestro tenun sutra, Simon ‘Lenan’ Setijoko. Mendiang Simon ‘Lenan’ Setijoko dikenal dalam kepiawaiannya menciptakan kain tenun sutera dengan tambahan aksen sulam, batik, dan bahkan lukis. Pada kesempatan kali ini, Wilsen memilih Tenun Sutera Liar, yang terbuat dari serat kepompong ulat sutera liar di hutan, sehingga memiliki keragaman warna yang terbentuk natural tergantung dari daun yang dimakan. Serat dari ulat liar ini tergolong langka, ditambah lagi dengan telah mangkatnya sang maestro sehingga tutuplah rumah tenun Lenan membuat kain karya Tenun Lenan menjadi sebuah karya wastra yang amat langka. Adapun, seluruh Tenun Sutera Liar karya Lenan yang diolah Wilsen kali ini merupakan koleksi pribadi dari Chandra Satria.
Temu Sutera Dalam Desain Pakaian
Berbentuk gulungan panjang dengan lebar kecil, kain tenun sutera liar karya Lenan ini dirancang oleh Wilsen menjadi 8 tampilan wearable art, menggabungkan tenun sutera liar dengan tenun sutera ternakan dan katun yang dikombinasikan dengan material konvensional seperti wol, tulle, dan polyblend. Rancangannya sendiri diangkat dari pakaian-pakaian bergaya tailoring lalu dipecahkan konstruksinya secara kontemporer dengan main-main asimetri, pamer lining, styling solid silhouette dan fragile tutu skirt, dengan paparan tekstur tenunan Lenan sebagai primadona. Eksplorasi tanpa batas yang dilakukan mendiang Simon ‘Lenan’ Setijoko dalam mengembangkan seni tenun wastra, pelestarian budaya sekaligus pengolahan kain wastra yang dilakukan Chandra Satria, diangkat dalam “KAIN NEGERI”, satu program yang telah diusung secara berkesinambungan oleh Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI), dan ditampilkan di ajang JF3 2024.