Tantangan dalam mendesain bagi seorang Peggy Hartanto adalah, meledakkan ide yang cemerlang dalam bentuk yang sangat sederhana, basic, yang tidak overpower pemakainya. Ini sesuatu yang sangat jarang terjadi di kultur fashion Indonesia, sesuatu yang berada di arena ‘quiet luxury’. Kali ini Peggy memilih ‘art gallery’ sebagai landasan indenya. Galeri tempat terpajangnya karya-karya kontemporer berbentuk basic geometry dengan pilihan warna yang minimal. Bentuk yang dipilih Peggy adalah lingkaran, bentuk yang sebenarnya sudah final dan kemungkinan didesainnya terbatas. Namun Peggy tetap menemukan hal-hal yang ternyata tanpa batas, lingkaran ia kumpulkan menjadi semacam aksen kumpulan kelopak yang disematkan asimetrii pada gaun, ada juga linngkaran yang ia belah setengah dan siluetnya dijadikan sisi lapel dengan ukuran rasio yang berbeda-beda, menggemaskan dan seru. Siluet circle tambah seru dengan warna yang dipilih, bagai candy, atau sekadar benda seni yang timeless, dan tetap wajar sebagai sepotong pakaian. Super smart. Bentuk-bentuk desain yang diangkat ini bukan sembarang dari hayalan semata, Peggy terinspirai dari karya sembilan orang seniman, yaitu Tilder Grynnerup, Władysław Strzemiński, Katarzyna Kobro, Atelier Plateau, Ellsworth Kelly, Claudia Valsells, Imi Knoebel, Jaime Angelopoulos dan Patrick Strzelec.
Syahmedi Dean
Syahmedi Dean adalah seorang penulis yang telah menerbitkan sejumlah buku dan juga seorang jurnalis Mode dan Seni. Ia sudah meliput London Milan Paris Fashion Week sejak tahun 2000. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa Isntitut Seni Indonesia Yogyakarta, Program Studi Desain Komunikasi Visual. Kemudian memulai karir jurnalistik di majalah Femina tahun 1996, lalu berturut-turut menapak naik ke media-media terkemuka nasional seperti majalah Harper’s Bazaar Indonesia, majalah Dewi, majalah SOAP, Harian Media Indonesia, dan majalah Estetika. Dengan segenap perjalanan karirnya, kini ia menjadi Co-Founder dan Editorial Director LUXINA.