Biasanya setiap rumah mode jenama heritage, dengan arah artistik luxury sering kali diwarnai oleh warisan pendirinya. Kenzo musim semi/musim panas 2026 justru menyoroti warisan yang lebih personal: gaya hidup dan estetika Nigo sendiri, sang direktur kreatif. Koleksi ini bukan sekedar kumpulan busana, melainkan refleksi visual atas perjalanan kreatif sang direktur kreatif—dari jalanan Harajuku hingga panggung utama Paris Fashion Week.

Berlangsung di restoran legendaris Maxim’s, pertunjukan ini langsung menggugah pertanyaan besar: dapatkah luxury fashion tampil dengan humor, bahkan punk? Jawaban Nigo adalah ya—dan jawabannya datang tidak hanya dari busana, tetapi dari momen teatrikal yang disengaja. Seorang model tergelincir di atas sepatu badut berlapis-lapis yang tampak tak masuk akal, namun justru membuka pintu interpretasi: bahwa kemewahan tidak harus selalu bersifat serius.

Estetika Nigo yang khas—kolase antara streetwear, nostalgia 1990-an, dan referensi subkultur Jepang—terasa menyatu dalam setiap detail koleksi. Belt buckle bertuliskan “KENZO”, “MEOW”, dan “WOOF” bukan hanya gimmick; ia mengingatkan kita pada masa kejayaan A Bathing Ape dan kultur visual Tokyo yang padat simbol. Dalam banyak hal, ini bukan koleksi yang mengacu pada masa lalu Kenzo Takada, melainkan masa lalu Nigo sendiri.
Dominasi motif badge, beret penuh pin, dan jaket dengan detail militer memberi kesan punk yang diperhalus, namun tetap memiliki jiwa pemberontak. Sementara itu, dressing gown quilted ala Serge Gainsbourg yang dijadikan outerwear mengisyaratkan kelembutan maskulin yang semakin relevan di era fashion gender-fluid.

Yang menarik, Nigo tidak mencoba menjual luxury dalam arti klasik. Ia menjual suasana, attitude, dan gaya hidup. Dan dalam Kenzo SS26, gaya hidup itu terasa seperti nostalgia terhadap masa lalu yang belum tentu pernah kita alami, tetapi kita tahu pernah ada—penuh warna, eksentrik, dan penuh kebebasan.
Dalam lanskap LVMH yang sarat nama besar dan pendekatan ultra-komersial, Kenzo menjadi semacam outlier yang disengaja. Kehadiran Nigo dan tangan kanan kreatifnya, Joshua Bullen, memberi arah baru yang terasa otentik dan sangat personal. Koleksi ini adalah bukti bahwa ketika seorang desainer berani menjadikan dirinya sebagai narasi, hasilnya bisa lebih dari sekadar tren—ia menjadi bahasa.


