Walaupun Kebaya adalah pakaian serapan dari pakaian wanita-wanita Encim yang merantau ke nusantara di sekitar abad ke 15, Kebaya kini menjadi bagian dari pakaian sehari-hari banyak wanita di Indonesia. Coba perhatikan cara wanita berpakaian di pasar-pasar tradisional, di Yogyakarta dan di Solo, atau kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kebaya adalah bagian keseharian untuk berinteraksi sosial. Ia nyaman, sopan untuk berhadapan dengan tetua-tetua, berwibawa dan meredam pancaran sensualitas. Inilah kekuatan Kebaya yang sebenarnya mentradisi dan dipertahankan oleh umumnya wanita Indonesia. Kebaya ini bisa bertahan dari gempuran baju-baju renda sensual asimetri yang berusaha masuk ke dalam genre Kebaya hanya karena dipakai dengan pasangan kain batik di bawahnya. Tidak bisa, Kebaya terlalu tangguh untuk digeser oleh baju-baju renda sensual tersebut. Kebaya sudah teruji mampu melintasi berbagai jaman. Ketika masa pandemi ini berlangsung, apakah baju-baju renda sensual itu masih relevan? Tentu tidak. Hanya Kebaya yang dicintai yang mampu melintasi jaman.
Kebaya Dari Era Kartini Sampai Ke Pasca Pandemi
Deden Siswanto, salah satu desainer Indonesia yang mampu menjaga marwah Kebaya tetap seperti apa adanya, Deden menahan diri agar tetap menjaga pakem Kebaya. Ini bisa dikatakan sebagai bagian dari sikap hormat terhadap budaya. Kebaya Deden belum lama ini dikenakan oleh Maudy Koesnaedi, Sita Nursanti, Rieke Dyahh Pitaloka, dan Inaya Wahid, di atas satu pentas monolog berjudul Wanodja Soenda di hotel Savoy Homann, Bandung. Wanodja Soenda menampilkan tokoh wanita yang membanggakan warga Jawa Barat, yang membawa diri mereka berguna untuk kemajuan kaum wanita sejak jaman penjajahan hingga peralihan masa ‘Perjoeangan’. Rieke Dyah Pitaloka (memerankan Emma Poeradiredja) mengenakan Kebaya bermotif floral berdasar warna hitam. Sita Nursanti (memerankan Dewi Sartika) mengenakan kebaya hitam berbahan velvet. Maudy Koesnaedi (memerankan Lasminingrat) mengenakan kebaya katun eyelet yang nyaman. Inaya Wahid sebagai pembawa prolog, mengenakan Kebaya berbahan jacquard berwarna hijau lumut. Untuk Kebaya-Kebaya ini Deden memberi sentuhan desain seperti lengan beraksen puff ala bishop sleeve yang dikenakan oleh Maudy Koesnaedy. Lalu lapel Kebaya yang ditindas dengan bordir atau diberi line bordir sebagai hiasan.
Perjuangan Wanita Indonesia Telah Ada Sejak Lama
Monolog ini sangat membanggakan, membukakan mata bahwa perjuangan wanita di Indonesia untuk mencapai kesetaraan sudah berjalan sejak lama, berjuang tanpa gembar-gembor demi nama, mereka berjuang langsung demi kemaslahatan sesama wanita di lingkungan sendiri, namun gaungnya membesar harum menembus jaman. Emma Poeradiredja, aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB), ia terlibat dalam Kongres Pemuda hingga akhirnya menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Kota Bandung. Dewi Sartika, memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ia kemudian mendirikan Sakola Istri, sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda. Lasminingrat, kerap menerjemahkan buku-buku Belanda ke bahasa Sunda. Melalui karya-karya sastra yang disadurnya, Lasminingrat berusaha membukakan mata masyarakat di sekitarnya untuk melihat dunia. Persembahan Wanodja Soenda ini digagas oleh Heni Smith (Direktur The Lodge Group), dan disutradarai oleh Wawan Sofwan. Kain-kain Batik indah yang dikenakan para pemain monolog dipinjamkan oleh Ibu Heti Sunaryo. Persembahan monolog ini juga dihiasi dengan pembacaan puisi oleh Ibu Atalia Praratya Kamil.
Foto: Dani Effendi