Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menebar data yang memperlihatkan bahwa jumlah backlog (kekurangan rumah) kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,75 juta unit. Hal itu masih ditambah data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 yang menyatakan hanya 59,5 % saja keluarga yang bernaung di rumah yang layak huni. Data ini terdapat di Kompas.com bulan Agustus 2022, data yang kemungkinan besar masih berkisar pada angka yang sama. Ada belasan juta keluarga membutuhkan rumah, ada yang berjuang untuk meraihnya, dan ada pula yang untuk memimpikannya saja tidak berani. Lalu di tengah drama perumahan tersebut, tersembullah satu pameran tunggal seniman Popomangun, berjudul “House of Home”, di ARTLOKA, Wisma Geha Jakarta (20 April – 19 Mei 2024). Dengan lantang dan kontemporer, Popo memvisualkan rumah-rumah impiannya, tergambarkan dengan warna-warna yang ‘meledak’ riang gembira.
Mana pintu ke luar?
Perlu pengalaman visual tersendiri untuk mendeteksi ujud rumah-rumah yang digambarkan Popo karena secara kasat mata lukisannya lebih ke paparan blok warna dengan tarikan perspektif yang sangat samar. Di situ ia menyematkan siluet bubungan, ventilasi, tangga, jendela, dan pintu, dengan letak-letak sesuka hati, seperti mengajak kita bermain mencari mana pintu untuk ke luar, mana anak tangga untuk naik dan turun. Pada lukisan berjudul ‘Home of Dream 2.0’ dimensi 50 x 50 cm, elemen pintu, tangga, dan cerobong asap, rimbun tanaman outdoor, tersusun rapi cubistic. Poleng representasi genteng dibubuhkan sebagai sarat bahwa pada umumnya rumah ya beratapkan genteng. Rupa tegel motif Kawung, diambil sisi negatifnya yang berupa kerlip bintang, sehingga letaknya pun tidak di lantai, tetapi naik ke area bubungan, representasi ventilasi. Pada lukisan-lukisan lain, bisa ditemukan ada banyak elemen undakan, yang tanpa sadar mengajak kita untuk menapak naik.
Rumah Ibu vs. Rumas Istri
“Semua komposisi yang saya buat ini berangkat dari tiga fase hidup yang telah saya lalui. Pertama, fase di rumah orangtua, kedua, fase ketika saya hidup sendiri, lalu ketiga, fase ketika saya mempunyai keluarga. Tiga fase menjadi landasan riset saya. Menariknya, dari riset rumah ini hubungan keluarga jadi lebih dekat dibanding sebelumnya. Saya jadi lebih tahu mengapa orangtua saya berpikir seperti itu, saya jadi lebih mengerti kenapa istri saya bersikap seperti itu,” ujar Popo di sela-sela pameran. Pada lukisan berjudul “Mother’s Home”, Popo memvisualkan elemen-elemen yang berkesan outdoor, pepohonan, semak, ujud pohon pisang-pisangan atau palem, bulatan mentari dan rembulan, bersanding dengan undakan tangga pertanda ada hunian di tengah alam. Sementara pada lukisan berjudul “House of Wife”, Popo menggambarkan kesan dalam rumah, ada vas bunga, tanaman-tanaman indoor, siluet galon, siluet sisir, dan undakan-undakan dalam palet warna yang ‘girlie’
Apa adanya di dalam rumah sendiri
“Dari tema tentang rumah ini, saya ingin mengajak siapa saja untuk kembali sadar bahwa rumah adalah tempat yang tanpa batas ruang dan waktu. Siapa pun kita di luar sana, kita punya jabatan, ketenaran atau hal yang kita lakukan membanggakan orang lain, dirumah kita tetap harus mengangkat galon, tetap mengganti tabung gas, kita menjadi apa adanya, rumah adalah tempat kita menjadi manusia yang sebenarnya manusia.” Kata Popo dengan lugas. Mungkin kondisi ‘apa adanya’ inilah yang membuat Popo begitu gencar meledakkan warna, energi polesannya terasa sangat optimis, memendarkan positive energy yang bagus untuk menghiasi ruang-ruang di dalam rumah. Apakah hidup Popo begitu penuh warna? Bagaimana kalau ia memejamkan mata, warna apa yang ia lihat di lapis dalam kelopak matanya? “Ketika pagi saya lihat cukup warm, oranye, coklat, dan kuning. Ketika malam lebih ke biru,” jawabnya cepat dalam ketukan sedetik. Dalam berkarya Popo lebih senang melukis ketika pagi, “…karena kita seperti gelas kosong, baru bangun tidak terpikirkan apa-apa, belum muncul masalah-masalah baru. Tidak ada intimidasi, tidak ada perspektif yg mengarah ke sesuatu ini itu, semua dari nol, sehingga muncul imajinasi yang lebih segar.”
Perbedaan Seniman dan Orang Gila
Ada sejumlah perkembangan dari diri Popo dalam pameran ini, hal-hal kerapihan dalam blok warna yang sudah melekat jadi ciri khas Popo, kini muncul lebih ekspresif, sapuan kuas acak-acak, komposisi bentuk lebih bebas merdeka. Apa yang terjadi? “Memang ada semacam eksplorasi yang saya buat. Dulu itu saya mewajibkan diri kalau buat karya harus rapi dan bagus. Ternyata itu membuat saya jadi terbatas bereksplorasi, dan ketika membuat karya yang berantakan ternyata saya merasa lebih sulit dari karya yang rapi. Eksplorasi penurunan warna, gradasi warna, sampai komposisi yang tidak beraturan, ternyata lebih sulit dibanding perilaku-perilaku saya yang tadinya harus rapi tertata dan terkomposisi. Mungkin karena latar belakang saya adalah seorang wartawan, sehingga dalam berkarya saya harus riset yang kuat, selalu harus ada alasan dan arti setiap karya. Ini yang membedakan seniman dan orang gila. Sebenarnya kegilaan dan fantasinya sama, hanya bedanya seniman bisa present apa yang dia maksud, dia bisa berikan alasan. Nah, dipameran ini sebenarnya saya ingin kasih lihat sisi Popomangun yang rapi, yang berantakan, yang eksploratif, dalam segi skill, teknik, komposisi rasa, sampai ke narasi cerita.”