Jakarta menambahkan satu titik baru dalam peta seni rupa kontemporer Asia Tenggara: ara contemporary. Dibuka pada pertengahan April 2025, galeri ini langsung mengukuhkan langkah pertamanya lewat pameran perdana bertajuk We Begin Everything, menampilkan 17 seniman dari berbagai negara Asia Tenggara. Nama “ara” tak hanya singkatan dari para pendirinya—Arlin, Ramadanti, dan Chandra—tetapi juga merujuk pada makna filosofis dalam bahasa Sanskerta: tempat perlindungan, adaptasi, dan kepedulian terhadap sesama.


Ruang Kolaboratif bagi Asia Tenggara
ara contemporary muncul dengan visi kuat: membangun platform dinamis yang menyuarakan praktik-praktik artistik Asia Tenggara, dari yang baru muncul hingga yang telah mapan. Fokus galeri ini adalah memperluas diskursus seni melalui keterhubungan antara narasi lokal dan percakapan global. Di pameran perdananya, pengaruh pemikiran Rick Rubin dalam The Creative Act menjadi inspirasi tajuk, mengajak publik untuk melihat proses artistik sebagai sesuatu yang terus berkembang dan berubah, selaras dengan filsafat teori proses.

Tubuh, Identitas, dan Interpretasi Diri
Berbagai karya dalam We Begin Everything menyoroti pengalaman tubuh dan identitas. Carmen Ceniga Prado dan Alisa Chunchue, misalnya, mengeksplorasi hubungan antara tubuh, trauma, dan penyembuhan. Sementara itu, Enggar Rhomadioni, Marcos Kueh, dan Natalie Sasi Organ menafsir ulang nilai-nilai yang membentuk identitas melalui lensa budaya, keluarga, dan sejarah. Di tangan mereka, narasi personal menjadi medium untuk merespons kompleksitas menjadi manusia.

Waktu dan Ketakterhinggaan dalam Karya Visual
Konsep waktu menjadi benang merah yang menarik dalam karya Dawn Ng, Condro Priyoaji, dan Xiuching Tsay—masing-masing menyampaikan impresi akan kefanaan melalui medium seperti warna, cahaya, dan memori visual. Ipeh Nur menelusuri sejarah lanskap dalam kerangka waktu yang lebih panjang, sementara Wedhar Riyadi dan Albert Yonathan menyentuh aspek keberadaan melalui benda sehari-hari: tanah liat, objek mati, dan repetisi proses sebagai perenungan eksistensial.

Menyentuh yang Tak Terlihat, Merayakan Imajinasi
Penutup yang tak kalah penting datang dari karya S. Urubingwaru dan Agan Harahap. Urubingwaru bermain dalam ranah realisme magis, menyatukan yang paradoksal dalam satu komposisi. Sedangkan Agan, dengan gaya khasnya, memanipulasi realitas melalui fotografi dan imaji digital, menciptakan semesta naratif yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Dengan pembuka seperti ini, ara contemporary bukan sekadar galeri baru, tetapi fondasi untuk masa depan seni Asia Tenggara yang lebih reflektif dan relevan.

130 x 110 x 4 cm




Foto utama: Agan Harahap – The Memory Remains 2, 2025 c-print on Ilford smooth cotton rag 40 x 60 cm (unframed) 57.5 x 77.5 x 5 cm (framed)