Mungkin ada di antara kalian yang tidak pernah bertemu Kakek sendiri? Sama seperti seniman Tintin Wulia, yang sedang berpameran tunggal di BAIK ART Gallery, berjudul “Disclosures”. Tintin hanya mendengar petikan-petikan cerita tentang Kakeknya dari Ayah. Kakeknya hilang di masa pergerakan, lenyap di Denpasar di bulan Agustus 1965. Kejadian yang membuat Tintin mempertanyakan banyak hal dan mencari jawaban dengan caranya sendiri, selama lebih dari 20 tahun ia melakukan riset-riset menuju arsip-arsip yang paling tersembunyi, lalu mengeskpresikannya ke dalam bentuk karya seni. Tahun 2023 lalu Tintin baru menyelesaikan riset yang didanai oleh Swedish Research Council di University of Gothenburg di Swedia. Risetnya berjudul ‘Protocols of Killings: 1965, distance, and the ethics of future warfare.’ Latar belakang pendidikan Tintin sendiri adalah Sarjana Arsitektur dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (1991 -1998). Selama kuliah di Bandung tersebut, Tintin menyempatkan diri pergi ke Massachusetts (1995-1997) untuk meraih Bachelor of Music (Film Scoring) di Berklee College of Music dengan predikat Magna Cum Laude. Tahun 2007 Tintin mendapat Australian Postgraduate Award yang membuatnya berangkat ke Royal Melbourne Institute of Technology memperdalam ilmu dengan judul eksegesis “Aleatoric Geopolitics: Art, Chance, and Critical Play on the Border. Tahun 2018 ia juga meraih Smithsonian Artist Research Fellow 2018 dengan Walter Reed Biosystematics Unit, National Museum of Natural History, Smithsonian Institution.
Seni berlandaskan sosio-politik
“Proyek-proyek Tintin ini menawarkan konteks penting, yang menjelaskan keterkaitan antara kejadian-kejadian nasional dan pengaruh serta keterlibatan kekuatan-kekuatan eksternal. Mereka mengungkap bagaimana kekuatan-kekuatan ini telah membentuk kontur sosio-politik sejarah modern Indonesia. Dengan cara ini, karya-karya Tintin membangun dialog antara hal-hal pribadi dan politik, antara sejarah tersembunyi dan ingatan komunal, dan antara kedangkalan kehidupan sehari-hari dan peristiwa luar biasa yang membentuknya. Keasyikan ini terlihat pada seluruh karya yang ada dalam pameran ini,” begitu ungkap Aaron Seto pada kata pengantar pameran. Sejak awal berkesenian, karya Tintin telah dibentuk oleh ketertarikannya pada sejarah yang bisa berubah, cara narasi sejarah dikonstruksi melalui dinamika kekuasaan negara, dan pengaruh ingatan pribadi. Minatnya terletak pada pemahaman interaksi antara struktur kelembagaan dan pengalaman manusia, dan bagaimana sejarah disembunyikan dan diungkapkan melalui mekanisme negara dan kelemahan ingatan manusia.
Arsip declassified 1964 – 1968 dan lenyapnya substansi
Dengan gejolak pemikiran dan premis seperti itu, ternyata karya-karya yang ditampilkan kali ini cukup tenang, elegan dan chic, dikerjakan dengan tingkat presisi yang tinggi. Sehingga orang cukup susah untuk meresapi dan merasakan langsung apa yang sedang bergelora, kecuali bertanya dan dialog langsung dengan sang seniman pembuatnya. Mungkin ada satu yang lumayan berkecamuk adalah karya berjudul Absence in Substantia, berupa kertas nilon yang digunting lurus selebar beberapa mili, lalu dianyam ke serat polyester menjadi hanging artwork. Guntingan-guntingan tersebut mengingatkan pada kertas yang telah diiris oleh mesin paper shredder. Karya ini ungkapan dari riset Tintin atas lebih dari 35.000 lembar arsip-arsip pemerintah Amerika Serikat yang ia sebut sebagai arsip ‘Protocol of Killings’ yang sudah declassified tahun 2018, terdiri dari arsip-arsip keluaran Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta antara tahun 1964 – 1968, waktu terjadinya periode pembantaian di Indonesia. Kemudian ada juga karya instalasi berjudul Pasport Trail, berupa paspor-paspor (di antaranya ada paspor Andorra, Burkina Faso, Sierra Leone) yang disusun berbaris dari lantai sampai merayap ke dinding dan langit-langit galeri. Ketika Luxina bertanya; “Mengapa semua gejolak menjadi tampil tenang, balance, dan elegan, apakah karena Tintin dibesarkan dalam keluarga yang baik dan berkecukupan? Tintin mengangguk sambil tersenyum lebar.
Pementasan keliling dan pohon-pohon yang mendengarkan
Rasa penasaran terhadap sosok sang Kakek sebagai tokoh sentral dalam Tintin berkarya, bisa terjawab di dalam ruang terpisah, satu karya instalasi berjudul “Memory is Frail (Truth Brittle)”, berupa susunan kertas-kertas yang tertempel di dinding, berisi gambar-gambar goresan charcoal yang lembut dan tulisan-tulisan tangan dengan cuplikan cerita tentang ayah, paman, dan kakek, serta rambu bantu arah baca berupa gambar semacam pesawat fighter jet dengan jejak asap panjang tanda pesawat berada dalam kecepatan yang tinggi. Cerita diawali dengan gambar pohon gemuk bermata dan bermulut, lalu di dekatnya ada kertas bertuliskan “ALL TREES ARE GOOD LISTENERS”, satu ungkapan tentang keteguhan untuk mendengar dan ketidak berdayaan untuk berkata-kata. Kemudian ada gambar seorang anak kecil yang menangis di atas pentas, di hadapan siluet kepala para penonton. Tintin bercerita bahwa dulu sang Kakek memiliki sebuah teater keliling di Denpasar, ia mengajak anak-anaknya ikut serta dalam setiap pertunjukan keliling. Tintin bilang, lakon yang ditugaskan Ayah dari Kakek adalah: “Kamu naik ke atas pentas, bilang kamu lapar, minta pisang untuk makan, lalu menangis, okay?”
Ayahku seorang Contortionist dan misteri naskah dari Kakek
Apakah naskah dari sang Kakek tersebut bisa dijadikan kunci pembuka kotak Pandora? Mengingat saat itu belum ada alat komunikasi pager, sms, whatsapp, apalagi media sosial yang bisa menjangkau masyarakat luas. Teater keliling merupakan medium pengantar cerita dan pesan yang bisa langsung sampai kepada masyarakat dengan cara yang modern saat itu. Apa kira-kira pesan yang disampaikan? Apa kalimat jawaban dari naskah yang dibaca Ayah? Apakah cerita secara keseluruhan mengemban suatu misi penyebab semua kejadian? Sungguh menggelitik rasa penasaran. Di dalam ruang instalasi ini Tintin juga menggambar raut wajah sang Kakek, ia diletakkan lebih tinggi di atas gambar-gambar yang lain. Juga ada gambar tiga orang anak laki-laki yang salah satunya membungkukkan badan dalam-dalam dengan kedua tangannya menyeruak keluar di antara dua kaki dan wajah terbalik dan tertawa lebar. Di dekat gambar ada tulisan: “MY FATHER THE CONTORTIONIST”. Kemudian ada juga tulisan: “After my grandfather was forcefully disappeared in 1965, sadly, my second uncle quit painting”. Kalimat yang berisi dua kejadian yang rasanya tidak setara, tetapi bisa setara jika keduanya terkait dalam utas isu yang sama. Pameran ‘DISCLOSURES’ ini berlangsung hingga tanggal 24 Februari 2024.