For the sake of fashion dan loyalitas pekerjaan, saya rela kehujanan untuk menyaksikan fashion show karya terbaru Edward Hutabarat autumn/ winter 2023 yang dinamakan dengan Kabakil. Show ini diadakan di salah satu tempat paling sakral di Indonesia, Candi Borobudur. Derasnya hujan dengan latar belakang Candi Borobudur, membuat show ini begitu epik, lebih epik dari fashion show manapun yang pernah saya saksikan di penjuru dunia ini, mulai dari Paris, Tokyo, Milan, Florence, fashion show ini begitu gegap gempita dan epik. Tak ada kata lain yang sesuai dengan presentasi bang Edo ini, selain epik dan magis.
Tapi mengapa di Candi Borobudur? Karena menurut pak Ahmad Mahendra, dari Direktorat perfilman, musik dan media, Ditjenbud, kemendikbudristek, selaku pendukung utama acara ini, hanya karya Edward Hutabarat-lah yang bisa menyamai nilai master piece dari Candi Borobudur. Dan ini dibuat dalam rangka Festival Tenun Nusantara, sehingga tak ada nama lain yang bisa muncul di benak selain Edward Hutabarat dalam mengolah tenun untuk terlibat dalam kehidupan sehari-hari manusia modern. Jadi, Kabakil itu apa?
Dari mulai memintal sendiri benang dari kapas hingga nantinya menjadi kain, ada satu proses yang disebut Kabakil, yaitu teknik akhir dalam menyelesaikan sehelai Kain Sumba, yang dikerjakan dengan arah tenunan berlawanan dan dipelintir. Proses ini memiliki fungsi untuk melindungi benang-benang agar tidak terlepas dari kain sehingga kain tenun yang
melalui proses ini memiliki kain yang sangat rapi. Kain tenun dengan Kabakil inilah yang menjadi nilai spesial dari kain tenun Sumba karena tidak semua penenun bisa membuat Kabakil dan diperlukan keahlian khusus untuk itu. Kabakil ini yang biasanya berada di posisi ujung kain, yang oleh artisan penenun Sumba dibuat selebar kurang lebih 10 cm. Ujung-ujung kain yang memiliki motif yang berbeda dari badan kain ini, yang kemudian dibuat terpisah oleh Edward Hutabarat yang kemudian mencipta ulang Kabakil dengan ukuran yang lebih lebar dan panjang, sehingga menjadi satu lembar kain tersendiri. Dengan motif yang juga diperbesar. Kebanyakan motif Kabakil ini adalah stripes atau garis-garis. Dengan warna-warna yang menggunakan pewarnaan alam khas seperti tenun Sumba pada umunya. Kemudian Kabakil yang sudah menjadi kain tersebut, dibuat menjadi koleksi pakaian yang dipresentasikan tadi malam, di tengah hujan dengan latar belakang Candi Borobudur yang begitu mempesona.
Dari presentasi koleksi Kabakil ini, untuk melengkapinya, maka dibangun pula Rumah Sumba di halaman Pelataran Candi Borobudur. Rumah Sumba ini berisi berbagai koleksi kain Sumba yang indah yang kaya akan filosifi, kerajinan tangan kuno berupa anyaman tikar terpanjang dunia, sepanjang 50 meter, anyaman kontainer makanan dengan rupa yang artistik, hingga sirkam rambut kuno khas wanita Sumba. Sementara beberapa mama artisan dari Sumba diterbangkan untuk menunjukan keahlian memintal benang dan menenun helai-helai kain tersebut menjadi selembar kain yang kaya dengan filosofi hidup dengan visual yang indah. Menyaksikan Rumah Sumba dan isinya ini, akan membuat kesadaran kita semua (orang Indonesia) bahwa bangsa ini lebih kaya dan beradap dari apa yang kita pikirkan. Dan Edward Hutabarat, berusaha sekuat tenaga, untuk menyelamatkan warisan-warisan budaya yang semakin tidak terpikirkan oleh generasi kini. Apakah ada dari kita yang bisa menjadi “Edward Hutabarat” di masa depan nanti?
Foto dok. Edward Hutabarat