‘The Last Rabbit’, cat akrilik di atas kanvas, dimensi 60 x 60 cm, karya Oky Rey Monta, tampil lagi di tengah-tengah Astha District 8 yang megah di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Seekor kelinci di dalam lukisan tersebut, terlihat ringkih tetapi glamor, mengenakan mahkota, tangan kiri memegang teko seperti porselen berdesain royal. Tangan kiri sang kelinci muncul di belakang kepala, membentuk kode ‘peace’ tetapi kedua puncak jari ditekuk bagai telinga kelinci. Mata sang kelinci melotot nanar, seperti terperangah, tetapi kocak. Lukisan ini karya lama (2010), tetapi cukup relevan untuk ditampilkan lagi saat ini, wajah kelinci yang terperangah campur bingung, cocoklah sebagai representasi kondisi dunia seni saat ini, saat seni yang bukan berada dalam kebutuhan primer masyarakat, terdera oleh gelombang pandemi COVID-19. Kondisi yang dirasa sangat mempengaruhi industri seni, membuat dampak yang dalam secara finansial bagi para pelaku seni. Namun usaha berbagai pihak dan para seniman untuk mengatasi hal ini seperti tak pernah surut, apa pun yang terjadi, dunia ini sangat perlu ditebar dengan karya seni. Maka, ‘The Last Rabbit’, menjadi bagian dari 80 karya seni yang dipamerkan di Astha District 8. Inisiatif pameran digalang oleh Asosiasi Galeri Seni Indonesia (AGSI) yang terdiri dari galeri-galeri terkemuka di Jakarta seperti Artsphere, Art:1, Andi’s Gallery, Can’s Gallery, D GALLERIE, Edwin’s Gallery, ISA Art Gallery, ArtSociates, dan Puri Art Gallery.
Gambaran besar sebuah harapan untuk memasyarakatkan karya seni
“Saat ini pengunjung galeri mulai berkurang,” ujar Maya Sudjatmiko, ketua AGSI. Memang pada kenyataannya saat ini orang lebih senang bepergian ke tempat-tempat yang tergolong ‘one stop everything’, seperti mall dan tempat-tempat terbuka yang ramai. “Kami berpikir, kenapa bukan kami saja yang membawa karya seni ke tempat keramaian,” tambah Maya di depan pers saat hari pembukaan pameran di Astha. “Tujuan AGSI berkolaborasi dengan Astha menggelar pameran ini adalah untuk memperkenalkan dunia seni rupa pada khalayak yang lebih luas agar mereka memahami dan menjadikan seni rupa bagian dari kehidupan sehari-hari,” ujar Maya. Menurutnya lagi, sebuah pameran seni dihadirkan tak hanya sebagai ‘arena pertunjukan’ bagi sang pelaku seni saja, namun juga menjadi momen bagi para penikmat seni untuk menjadikannya sumber inspirasi juga motivasi, serta dapat pula memberikan ruang untuk berefleksi dan berkontemplasi. Pameran ini sendiri berjudul ‘BIG PICTURE’, yang esensinya adalah kebersamaan beberapa pihak untuk membentuk sebuah pandangan luas yang dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi di saat ini. Konsep ‘Gambaran Besar’ sangat relevan dalam konteks kali ini, karena memberikan ruang untuk menghadirkan perspektif yang lebih luas tentang situasi saat ini dan potensi seni di masa depan.
Figur primitif berbahasa tubuh jenaka dan Eye Scream
Di area pameran, pengunjung dapat menikmati karya-karya dari para talenta muda pendatang baru, yang memberikan nafas segar pada kancah seni rupa generasi penerus Indonesia yang dinamis dan bersemangat. Coba perhatikan karya Nana Tedja, perupa dari Yogyakarta, gores-goresan kuasnya cukup cadas, emosional, tetapi riang menyenangkan dalam pilihan tabrakan kontras warna yang ‘girlie’, figure-figur primitive yang ia ciptakan berbahasa tubuh jenaka, perhatikan juga di antara figur-figur goresannya tersebut, ada tersembunyi figur yang menyantai. Kalau kalian senang dengan tumpahan warna dalam gerakan yang lembut, coba berlama-lama di depan karya Alkiv Vilmansa, rasanya seperti tersesat di dalam kelembutan lelehan candy-candy. Kalau ingin lebih meleleh lagi, berdiamlah di depan karya Wedhar Riyadi yang berjudul Eye Scream, suasana hati akan riang dan bahkan tersenyum, dan dingin. Pameran ‘Big Picture’ ini akan berlangsung selama sebulan, mulai dari tanggal 26 Januari hingga 26 Februari 2023. Mari luangkan waktu mengimbangi hidup dengan berimajinasi di depan karya seni.