Sisi-sisi ‘cadas’ kreatifitas desainer Hian Tjen tertebarkan di presentasi Cita Tenun Indonesia dalam ajang JF3 2024. Hian yang sudah dikenal dengan karya-karya high-fashion yang rumit sophisticated, kali ini tampak menabrak zona nyamannya dengan mendesain satu koleksi yang berkesan grunge, satu gaya berpakaian yang tenar di awal dekade 90an, gaya yang berakar dari imperfection, dan semacam counterculture yang dilakukan oleh fans-fans Nirvana, Pearl Jam, dan Soundgarden. Koleksi ini sangat seru, coba bayangkan gaya grunge yang ‘slengek’an’ bertemu dengan perfect finishing khas Hian Tjen. Hasilnya, blus cropped-denim yang kain dalaman saku depannya nongol, dkenakan dengan ilusi celana high-waisted yang diluarnya ada celana longgar drop-crotch yang melorot diikat dipinggul, belum selesai, lalu di pinggang muncul celana boxer serut. Bayangkan cara Tupac dan P Diddy memakai celana melorot, bedanya yang Hian Tjen buat: tiga tingkat.
Perjalanan ke kampung halaman
Keseruan koleksi ini bukan saja tampak kasat mata saja, tetapi juga story dibaliknya. Koleksi diberi judul PITARAH, artinya: Nenek Moyang, terinspirasi dari perjalanan menuju kampung halaman tempat kelahiran Hian di Sambas, Kalimantan Barat. Hian dalam hal ini bekerjasama dengan Cita Tenun Indonesia (CTI), lembaga yang konsisten mendukung kelestarian Wastra kita, mengangkat kain tenun Songket Sambas, yang memang sangat perlu dikibarkan mengingat keberadaannya yang cukup kalah pamor dengan wastra-wastra lain. Hian Tjen akan menampilkan 11 set desain, menggunakan warna-warna yang bernuansa alamseperti hijau, kuning kunyit dan coklat. Kemudian Hian memadukan kain tenun Sambas ini dengan denim yang diproses berteknik washed untuk menghasilkan warna biru kehijauan yang harmonis dengan warna tenun. Rancangan dilengkapi dengan aksesori unik yang terinspirasi dari pemandangan serta kuliner Sambas, misalnya aksesori berbentuk bawang, cabai, jeruk, sate, choipan, serta kembang sepatu, yang dikaryakan menjadi anting, dan cincin. Aksesori didukung oleh Rinaldy Yunardi, lalu sepatu oleh Cava Prive.
Warisan Budaya Tak Benda – Kemendikbud
Menurut situs Warisan Budaya, Kemendikbud, masyarakat Melayu Sambas mulai mengenal dan melakukan praktek menenun secara tradisional (baik teknik ikat maupun teknik songket) pada masa pemerintahan Raden Bima (sultan Sambas yang ke-2, memerintah tahun 1668-1708) yang bergelas Sultan Muhammad Tajudin menggantikan ayahandanya Raden Sulaiman bin Raja Tengah. Sejak masa itulah menenun menjadi seni kerajinan dan diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang. . Di masa Hindia Belanda, gairah menenun dan jumlah kain tenun yang dihasilkan cukup menggembirakan dan boleh dikata hampir di setiap kampung ada perajin dan memiliki alat tenun sendiri. Pada saat itu Raja Sambas mendapat hadiah berupa seperangkat alat mesin tenun dari Kesultanan Brunei, sehingga menginginkan masyarakatnya belajar menenun. Sejak saat itulah proses menenun diajarkan kepada masyarakat yang berada di sekitar keratin dan hingga saat ini tenunan Sambas ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar keratin Sambas. Tenun Sambas merupakan salah satu usaha masyarakat di Sambas yang telah berlangsung secara turun temurun. Pembuatan kain tenun ini dilakukan masyarakat secara manual atau tradisional. Proses pengerjaan secara tradisional ini akan membuat hasilnya akan lebih bagus dibandingkan pembuatan dengan mesin. Usaha tenun songket ini banyak dilakukan oleh penduduk yang bermukim di Daerah Keratondon, Dusun Semberang, Desa Sumber Harapan, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.