Langit Singapura sedang cukup terik saat saya melangkahkan kaki ke kawasan Dempsey Hill. Di tengah rindangnya pepohonan dan bekas barak militer kolonial yang kini dipugar menjadi kawasan lifestyle mewah, saya menemukan Candlenut—restoran yang cukup membuat saya penasaran untuk saya kunjungi. Berlokasi di Blok 17A COMO Dempsey, Singapura, Candlenut tak sekadar menawarkan makanan, melainkan pengalaman bersantap yang sarat sejarah, emosi, dan inovasi kuliner.

Begitu memasuki area restoran, kesan hangat segera menyelimuti. Rangkaian lampu rotan bergantung rendah dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut yang mempermanis interior bernuansa kayu dan warna-warna alami. Meja-meja kayu kokoh tersusun rapi, sebagian besar ditata untuk pengalaman bersantap secara komunal, khas budaya Peranakan yang menjunjung kebersamaan. Ruangan ini seperti perpanjangan dari rumah nenek saya di masa kecil—tradisional, tetapi diperhalus dalam bahasa desain modern.

Di balik nama besar Candlenut, ada sosok Chef Malcolm Lee, pendiri dan pemilik Candlenut, yang telah menempatkan nama restoran ini di peta dunia dengan pencapaian luar biasa: menjadi restoran Peranakan pertama di dunia yang dianugerahi satu bintang Michelin pada tahun 2016, dan terus mempertahankannya hingga kini. Sosok Malcolm bukanlah sekadar chef; ia adalah penjaga warisan kuliner yang dengan penuh cinta menghidupkan kembali cita rasa masa kecil, mengemasnya dalam bentuk yang lebih modern, dan menyajikannya untuk generasi hari ini.
Sebuah Perjalanan yang Disebut ‘Ah-ma-kase’
Hari itu, saya disuguhkan menu khas Candlenut yang disebut ‘Ah-ma-kase’—permainan kata antara “ah ma” (nenek dalam bahasa Hokkien) dan “omakase” dari Jepang. Menu ini adalah bentuk penghormatan terhadap para ibu dan nenek dalam keluarga Peranakan, yang sering menjadi jantung dapur dan sumber cita rasa yang mendalam.
Hidangan demi hidangan datang dengan ritme yang menenangkan, dibawakan oleh staf yang penuh perhatian, dan dimulai dengan sebuah sambutan kecil yang menyenangkan: Kueh Pie Tee dengan tiger prawn dan Yeye’s Curry –yang sepertinya dibuat dari resep keluarga. Cangkangnya renyah dan ringan, menyimpan isian hangat dengan aroma rempah yang kompleks namun lembut. Satu gigitan membawa saya ke meja makan keluarga—hangat, penuh kenangan, dan menyentuh.

Tak lama kemudian, datang Ngoh Hiang, gulungan daging cincang dan udang yang digoreng dengan sempurna, dilengkapi saus manis khas rumah-rumahan. Rasanya seperti nostalgia dalam bentuk nyata, seolah saya kembali ke masa kecil saat menyantap hidangan serupa di acara keluarga, namun dengan kehalusan teknik dan presisi rasa yang hanya bisa dicapai melalui bertahun-tahun eksplorasi kuliner.
Kemudian hadir sate dari Kurobuta pork neck yang dibakar arang, dilapisi kicap manis glaze. Aroma arang menyentuh hidung lebih dulu, lalu digantikan oleh rasa gurih manis dan daging yang lembut di setiap seratnya. Ini bukan sate biasa—ini adalah interpretasi ulang dengan bahan terbaik dan teknik terbaik, namun tetap menggenggam esensi rasa jalanan yang kita cintai.
Sajian berikutnya adalah sup Bakwan Kepiting, yang menyajikan bola-bola ayam dan kepiting dalam kuah ayam yang dimasak selama lebih dari empat jam. Aroma kaldu menyapa begitu hangat, dan sesendok pertama membawa sensasi kenyamanan mendalam. Rebung, tahu puff, dan tekstur bakwan yang lembut membuat sup ini seolah menjadi jeda yang menenangkan di tengah perjalanan rasa yang kompleks.

Hidangan salad yang muncul setelahnya—Wing Bean Salad—menghadirkan semangat yang lebih cerah. Irisan kacang botor muda, baby red radish, udang, teri, dan kacang mete berpadu dalam dressing calamansi yang segar. Ada kepedasan ringan, kecut yang menggoda, dan kerenyahan yang membuatnya tak sekadar salad, melainkan pernyataan rasa yang tegas dan segar.

Kemudian datanglah salah satu mahakarya Candlenut: Aunt Caroline’s Babi Buah Keluak. Buah keluak—yang dijuluki “truffle Asia”—dimasak bersama pipi babi Iberico dalam proses slow cooking yang menghasilkan tekstur lembut dan rasa yang sangat dalam. Ini adalah hidangan dengan keberanian. Rasa pahit-gurih dari buah keluak yang pekat menyatu sempurna dengan kelembutan daging, menciptakan profil rasa yang kaya, berat, dan memikat.
Dari darat kita beralih ke laut dengan Ikan Chuan Chuan, ikan barramundi segar dari Kühlbarra yang disajikan dengan saus fermentasi kacang kedelai dan jahe. Taburan jahe goreng dan daun bawang memberikan tekstur renyah dan kesegaran yang mengimbangi kekayaan rasa sausnya. Ada kontras dalam tiap suapan—antara fermentasi yang funky dan kejernihan laut.

Tak lama kemudian, datang Udang Masak Lemak Ang Kar, disajikan bersama okra, kacang panjang, terong, sambal ikan bilis, dan kuah santan kunyit. Kaya namun tetap ringan, lembut namun memiliki tendangan rasa dari sambal dan udang lautnya. Setiap unsur dalam piring ini seperti berdialog, tidak ada yang mendominasi.
Yang menarik, Sambal Telur menjadi penutup dari deretan hidangan utama. Telur goreng berwarna keemasan, dipadu dengan baby squid Sugata dan sambal cumi kering. Di balik kesederhanaan tampilannya, rasa dalam piring ini justru paling mencolok—pedas, gurih, dan mengingatkan pada makanan rumahan yang paling jujur dan otentik.

Semua sajian utama tersebut disajikan bersama nasi wangi Thai Hom Mali, menambah keseimbangan di setiap suapan, seolah menjadi kanvas netral yang memungkinkan tiap hidangan utama berbicara dengan jelas.
Penutup yang Lembut dan Menyentuh
Makan siang saya ditutup dengan dua sajian manis yang tak kalah berkesan. Candlenut’s Chendol hadir bukan sebagai pencuci mulut biasa, melainkan sebagai persembahan akan tropisitas Asia Tenggara yang elegan. Es serut kelapa muda, jeli pandan buatan sendiri, mutiara sagu, dan kastard kelapa dalam gula melaka—semuanya menyatu dalam harmoni rasa dan tekstur. Dingin, manis, lembut, dan segar, seperti pelukan dari alam tropis.

Kemudian, Buah Keluak Butter Cake menjadi kejutan terakhir. Buah keluak diubah menjadi kue mentega yang kaya rasa, dipadukan dengan Valrhona chocolate cremeux. Inovasi ini menunjukkan betapa Candlenut tidak hanya setia pada tradisi, tapi juga berani membawanya ke ruang baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Menjaga Warisan Lewat Rasa
Candlenut bukan sekadar tempat makan. Ia adalah ruang kontemplatif, tempat di mana kita diajak untuk merenungkan kembali asal-usul kita melalui rasa. Dalam tangan Malcolm Lee, tradisi Peranakan bukan hanya dilestarikan, tapi juga ditumbuhkembangkan dengan keberanian dan kelembutan.
Pengalaman bersantap saya di Candlenut adalah sebuah perjalanan. Tidak hanya menyenangkan lidah, tetapi juga menyentuh nurani—karena makanan di sini tidak hanya soal rasa, melainkan juga tentang ingatan, identitas, dan kasih sayang lintas generasi.